Bismillahirohmanirohim….
Awal Februari 2015. Langit Jakarta mulai diselimuti awan gelap. Musim hujan memang masih terus berlanjut di beberapa kota di Indonesia. Tak seperti sabtu pagi biasanya yang mana aku dan suami biasa berleyeh-leyeh menikmati hari libur, hari itu kami justru sudah berada di jalanan ibukota. Mobil swift merah dikendarai dengan santai mengingat jalanan yang tak begitu ramai pagi itu mengarah ke Jakata Barat, daerah Kota Tua letak persisnya. Semua ini dilakukan Mas Met demi menyenangkan hati istrinya, aku. Hari itu aku memang ada kegiatan di salah satu cafe di Kota Tua, tapi acaranya sendiri sebenarnya siang hari. Mas Met memilih berangkat lebih awal demi kemudahan mencari tempat parkir. Sebuah bonus tambahan buat aku. Aku jadi bisa mengeskplore Kota Tua lebih lama lagi.
Hari itu aku membawa Giyarti, salah satu boneka adopsi Cemprut-ku (baca juga:Teman Travelingku Cutie Plushie dari Cemprut). Awalnya aku berniat membuat serial Plushie Bercerita yang sampai sekarang belum aku lakukan. Mungkin aku memang manusia yang suka terlalu banyak ide tapi kemudian suka lupa dan malas untuk merealisasikannya. Hmm… Mungkin hari ini adalah awal yang baik untuk memulainya. Jadi, biarkan Giyarti mengambil alih melanjutkan cerita ini.
***
Assalamu’alaikum teman-teman semua!
Salam kenal dari Giyarti, nih. Plushie ke 3 yang diadopsi di keluarga Ravi. Biar gaul kita pakai gue-elo ya. Giyarti kan plushie muda yang keren dan kekinian.
Tumben-tumbenan pagi-pagi gue udah ditekuk dan masuk ke dalam tas. Ga tahu mau dibawa kemana. Yang pasti hati udah senang banget. Karena kalau sampai dimasukin ke dalam tas, artinya bakal dibawa jalan-jalan. Begitu kendaraan berhenti gue dikeluarin. Sejauh mata memandang yang keliatan adalah bangunan-banguna tua. Gue pikir gue dibawa ke Lasem, kaya kakak plushie gue si Diah yang pernah diajak ke Lasem. Tapi kok bangunan-bangunan tua yang gue liat lebih bergaya Eropa. Beda sama yang Diah ceritain, yang dia lihat adalah bangunan-bangunan tua bergaya Tionghoa. Oh, rupanya gue dibawa ke kota tua.
Kota tua, atau bisa juga disebut Batavia Lama (Oud Batavia), merupakan sebuah wilayah kecil seluar 1,3 kilometer persegi yang melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Pada abad ke 16 daerah ini dijuluki “Permata Asia” serta “Ratu dari Timur” oleh para pelayar dari Eropa karena lokasinya yang dianggap strategis sebagai pusat perdagangan Asia. Wah, keren ya. Gue bisa ngebayangin jaman dulu itu daerah ini ramai oleh orang-orang Londo yang berdagang. Memang sih ga jauh dari sini ada Pelabuhan Sunda Kelapa, pasti kapal-kapal Eropa itu berlabuhnya di situ.
Di Kota Tua ini terdapat banyak museum-museum. Mulai dari Museum Fatahillah atau juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Indonesia, dan Museum Mandiri. 3 Museum pertama tadi letaknya berada sekitar pelataran Kota Tua. Sedang Museum Bank Indonesia dan Museum Mandiri berada seberang stasiun Kota. Kira-kira gue bakal diajak ke museum yang mana ya? Duh ga sabar nih.
Awalnya gue diajak foto-foto dengan latar belakang bangunan-bangungan tua. Gue kasih deh senyum masnis ala gue yang memang selalu tampak diraut wajah gue (iyalah yaaa, senyuman gue kan terjahit begini, ga bisa berubah). Say cheese to the camera! Sampai tahu-tahu gue diajak masuk ke sebuah bangunan. Gue intip, tulisan Museum Mandiri tampak di atas bangunan tua berwarna putih yang bergaya art deco klasik. Rupanya, ini dia tujuan gue hari ini. Mau dibawa ke Museum Mandiri.
Masuk ke dalam gedung, gue disambut sama anak tangga dan patung penjaga berdandan ala kolonial Belanda. Setelah berada di atas, seorang penjaga yang berada di balik meja teller berterali besi menyapa Dian dengan ramah. Dian membayar Rp 4.000 untuk tiket masuk dua orang. Sebenarnya tiket masuk ke museum ini bisa gratis kalau kita nasabah Bank Mandiri atau pelajar. Sayang Dian dan Metra bukan keduanya. Jadi mau ga mau harus bayar deh. Kalau gue sih jelas free of charge alias ga usah bayar.
Bangunan bergaya Eropa ini usianya sudah sekitar 83 tahun. Bangunan seluas 10.039 meter persegi ini dibangun oleh arsitek asal negeri van orange J.J.J de Bruyn, A.P. Smith, dan C. Van de Linde pada tahun 1929. Namun baru diresmikan pada 14 Januari 1933. Kesan tua dan antik sangat terasa di dalam bangunan ini. Ornamen bangunan, interior, serta furniture di dalam gedung ini umumnya masih asli peninggalan Belanda.
Awalnya bangunan ini merupakan gedung Nederlandsche Handel – Maatschappij (NHM). Sebuah gedung perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan yang bergerak di bidang perbankan. Pada tahun 1960 gedung ini dinasionalisasi menjadi gedung kantor Bank Koperasi Tani dan Nelayan urusan ekspor impor. Baru pada 1998 bangunan ini resmi dijadikan Museum Mandiri.
Isi museum ini cukup unik. Namanya juga bank, temanya adalah adalah aktivitas perbankan tempo doeloe. Ada mesin tik dari masa ke masa yang disusun di salah satu tembok. Gue bisa merasakan kesan artsitik melihat tembok itu. Selain itu ada deretan komputer-komputer jadul, mesin hitung jaman dulu, dan anjungan tunai mandiri atau yang biasa disebut dengan ATM dari masa lampau.
Tapi yang juga ga kalah menarik (juga terkesan menakutkan sih sebenarnya) adalah patung-patung yang menunjukan aktivitas perbankan. Karena bukan cuma ada benda-benda tua. Tapi patung-patung ini mendemonstrasikan kegiatan yang ada di dalam sebuah bank, seperti teller dan lain-lainnya. Pokoknya gue mesrasa kaya beneran lagi berada dalam sebuah bank beberapa tahun yang lalu. Keren! Tapi ya serem juga kalau membayangkan malam hari ketika museum ini sudah tutup dan patung-patung itu pada hidup. Kaya di film Night at The Museum yang dibintangi sama Ben Stiller itu loh. Brrr…..Horor man. Semoga ga kejadian deh ya.
Gue diajak naik ke lantai dua dan gue terkesima. Daya tarik dari bangunan ini ada di tengah-tengah tangga utama menuju lantai dua: stained glass. Kaca patri ini berada persis di tembok paling luar sehingga sebenarnya bisa dilihat dari luar. Tapi rasanya jauh lebih indah ketika gue melihat dari dalam ruangan. Bayangkan cahaya-cahaya dari luar masuk menembus kaca berwarna-warni ini menjadikan gambar-gambar ini terasa lebih hidup.
Menurut sejarah, prasasti kaca patri yang berada di Museum Mandiri ini merupakan hadiah Karl C.J. Van Aalst, presiden direktur NHM Batavia yang ke-10. Kaca patri ini terbagi menjadi dua bagian. Yang pertama menggambarkan mengenai 4 musim yang ada di Belanda dan bagian kedua menggambarkan mengenai penemuan pulau rempah-rempah, bagaimana Cornelis de Hautman mendarat di Indonesia pada abad ke 16. Cornelis de Hautman adalah seorang penjelajah asal Belanda yang pertama kali menemukan jalur pelayaran Eropa ke Nusantara dan memulai perdagangan rempah-rempah ke Belanda.
Di lantai dua ini terdapat ruang rapat, ruang VIP direktur, ruang makan direktur lengkap dengan ruang penerimanaan tamu serta tempat penyimpanan jas. Jelas bagian lantai dua ini lebih ekslusif. Hanya tamu-tamu penting yang diterima di lantai ini. Kesan mewah semakin bertambah dengan adanya lampu gantung yang terbuat dari kristal.
Gue senang banget diajak main ke museum ini. Selain jadi belajar sejarah, gue benar-benar dibikin kebawa sama suasana jaman dulu. Berasa dibawa masuk ke lorong waktu. Teman-teman ingin juga berkunjung ke Museum Mandiri? Gampang banget. Museum Mandiri yang terletak di jalan lapangan stasiun no 1, Jakarta Barat ini mudah diakses kalau kita pakai KRL atau TransJakarta. Tinggal turun di stasiun Kota atau yang biasa dikenal dengan nama Beos, masuk ke terowongan bawah tanah, dan ikuti panah menuju museum ini. Kalau bawa kendaraan pribadi juga bisa diparkir di sekitar halaman museum, hanya saja jumlahnya terbatas. Dan di akhir pekan biasanya daerah Kota Tua ini cenderung lebih ramai. Museum ini buka dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore, setiap hari kecuali hari Senin.
Yuk, kita berkunjung ke museum. Jangan cuma ke mall aja.
Salam kecup manis manja,
12 Comments
Add Yours →wooow belum eprnah, catat ah , harus nih dikunjungi, secara aku suka mueseum
ayo mbak main. rasakan sensasi masa lalu di museum ini
wah keren museumnya, ini museum bank mandiri itukah?hehehe soalnya tadi ATM yang sama seperti milik bank mandiri..
iya, ini museum bank mandiri 🙂
Gagal fokus sama Gayatri. Salam Kenal yaa Plushiee 😀
Seru ituh wisata ke museumnya. Pasti ada bnyak nambah sejarah yag didapatkan di sana. hee
TFS ya ^_6
Aku gagak fokus sama bonekanya hihihi. Katanya manajemen museum di Indonesia emang masih harus dibenahi. Kesan spookynya emang masih kuat. Beda kalau di luar negeri yang suasananya malah jadi terasa berpetualang. Entertainingnya dapet. Jadi inget kalau aku juga udah lamaaa banget ga maen ke museum.
tapi museum mandiri yang spooky ini berbanding kebalik sama museum bank indonesia di sebelahnya loh,mbak. Ga ada kesan spooky. Terasa lebih modern padahal sama-sama gedung tua. Museum Mandiri kayanya emang sengaja dibikin konsep seperti ini
sering lewat tapi kok belum pernah mampir. ngga tahu kenapa perasaan buat mlipir belom ada. semoga dengan membaca ini niat mlipir semakin bulat ehehehe
kalo mampir sekalian ke museum bank indonesia ya, mas dodon. Itu dua museum sama-sama bangunan tua tapi dalamnya beda jauhhhhhh
Seru juga ya dalemnya, mau ke sana enggak sempet mulu, keburu tutuplah apalah, capelah haha. ntar disempetin deh. 🙂
jadi pengen ke jakarta lagi nih keliling2… sblmnya kaliling jkrta blm semua terjamah, apalagi museumnya.. hehe..
boleh juga ni mbak informasinya…
[…] tepat di atas kepala ketika aku, Mas Met, dan Giyarti keluar dari Museum Mandiri (bisa dibaca disini). Mas Met menanyakan kemana lagi tujuan berikutnya, karena dia tahu acara utama yang akan aku […]