gwrf 2019
Event Review

Gramedia Writers and Readers Forum 2019, Bersama Meira Anastasia dan Fiersa Besari

bismillahirrahmanirrahim,

“Aku mau bikin kalian sirik ah minggu depan,” gurauku pada beberapa teman bloger. Jadi ceritanya, Gramedia Writers and Readers Forum kembali digelar untuk tahun kedua di 2019 ini. Dan aku berkesempatan menghadiri selama 3 hari rangkaian acara.

Siapa coba yang enggak sirik mengetahui aku bakal bertemu dengan banyak sekali penulis best sellers dan mendapatkan berbagai ilmu dari mereka? Hmmm…. To be honest, di saat badanku mulai terasa enggak karuan karena kecapekan sepanjang minggu lalu, GWRF 2019 inilah yang membuat aku tetap semangat untuk berusaha sehat, karena aku mau memanjakan diri bersama para penulis.

Gramedia Writers and Readers Forum 2019 – Literacy in Diversity

Gramedia Writers and Readers Forum (GWRF) 2019 ini berlangsung dari 2 – 4 Agustus 2019 di Perpustakaan Nasional, berkat kerjasama Gramedia dan Perpustakaan Nasional dengan mengusung tema “Literacy in Diversity” sebagai simbol atas keberagaman di dalam dunia literasi.

Gimana aku enggak excited coba, ada 45 penulis yang akan berbagi a pengalaman serta praktik nyata dunia keliterasian dalam beragam tema. Aku sampai dibikin galau dalam menentukan kelas mana saja yang ingin aku ikuti. Seandainya saja aku bisa membelah diri, mungkin aku akan bisa mengikuti semua kegiatan yang ada. Ah, tapi tak usah berandai-andai. Sudah Alhamdulillah aku bisa mengikuti GRWF ini setiap harinya.

Jadi penulis siapa saja yang aku temui? Tulisan GWRF ini akan aku bagi dalam 3 rangkaian tulisan ya. Biar kalian enggak capek juga membacanya. Aku akan mengisahkannya secara perhari. Yuk, lanjut baca.

Say No to Bullying – Meira Anastasia, Marie Rahajeng dan Elizabeth Rahajeng

Bullying! Kata itu rasanya akrab banget dengan kehidupan aku. Kalau dipikir-pikir mungkin siapa sih yang sama sekali enggak pernah mengalami bullying? Bullying adalah perilaku negatif yang bertujuan untuk mencelakai atau menyakiti seseorang yang dipersepsi memiliki kurangan dalam kekuatan fisik maupun psikologis.

Entah karena aku pernah mengalami bullying atau karena aku terpesona pada sosok cantik ketiga narasumber di kelas ini, aku memutuskan memulai GWRF 2019 di kelas bertema Say No to Bullying.

“Dengan banyaknya platform media sosial sekarang ini, pada akhirnya membentuk cara bullying baru, yaitu cyber bully,” ungkap Meira Anastasia, penulis buku Imperfect yang juga istri dari Ernest, membuka sesi Say No to Bullying ditemani dua wanita cantik lainnya, si kembar Marie Rahajeng dan Elizabeth Rahajeng, penulis buku Becoming Unstopable.

Meira bercerita, awal ide menulis buku Imperfect berasal dari salah satu komentar negatif di media sosialnya. Namanya dapat komentar negatif, siapa pun tentu sempat merasa down, tak terkecuali Meira. Tapi seiring waktu, Meira berusaha mengubah perasaan down tersebut.

“Nilai kita tidak ditentukan orang lain. Yang bikin kita insecure adalah diri kita sendiri,” lanjutnya. Dia pun mengingatkan kalau kita tidak bisa mengatur apa yang akan dikatakan orang lain. Karenanya bila ada komentar yang tidak enak, paused sejenak. Usir pikiran negatif dari diri kita.

Self love daily basis. Remind yourself that you can to this. Kita ini berharga, cantik, dan luar bisa,” si kembar Marie Rahajeng dan Elizabeth Rahajeng berbagi tips untuk melawan bullying.

Ganti insecure menjadi bersyukur.

Meira Anastasia

Rythm in Words – Fiersa Besari

Musisi, penulis, pembuat konten. Dari tiga deskripsi yang menggambarkan Fiersa Besari tersebut, terus terang aku lebih mengenalnya sebagai penulis dan pembuat konten.

Fiersa Besari menjadi salah satu yang aku nanti-nantikan di GWRF 2019 ini. Aku adalah pengagum, penikmat diksi-diksi yang kerap kali Bung tuliskan. Garis Waktu adalah karya pertama Fiersa yang aku baca. Aku terhipnotis dengan cara Fiersa merangkai kalimat. Rasanya mau juga bisa seperti itu. Itu juga yang menjadi alasan aku mengikuti kelas Rythm in Words ini, siapa tahu aku Fiersa mau membocorkan tips dia menulis.

Lewat GRWF 2019, Bung mengingatkan kalau menulis selain untuk diingat orang lain, tapi juga mengingat diri sendiri. Satu tips yang menurut aku paling menaik dari Fiersan Besari, mulai saja menulis terlebih dahulu, jangan dijadikan beban dan ingin terlihat idealis. Biasanya yang proses yang paling sudah dalam menulis dalah 10 kalimat pertama, karena berikutnya akan lebih mengalir. Jangan menjadi editor bagi diri sendiri. Bila mentok, tinggalkan saja dulu.

Fiersa juga bercerita dia mendapat tips dari Pidi Baiq tentang terus menulis. Dia melihat ayah Pidi bisa terus menulis tanpa berhenti. Bahkan ketika ada orang lewat di depannya dan mengambil asbak, kejadian itu juga terus dia ketikan. Toh nanti tinggal diedit. “Yang penting mah nulis aja dulu,” tuturnya dalam logat Sunda yang sebelas duabelas sama aku.

Jadi, sudah siap untuk mulai menulis? Tak terasa satu jam lebih susah sesi bersama Fiersa Besari. Sesi Rythm in Words menjadi penutup GWRF 2019 di hari pertama yang aku ikuti. Kira-kira hari kedua aku ketemu siapa saja ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *