Movies and TV Series

Nosedive, Ketika Rating Membuat Kita Terbelenggu Untuk Mengekspresikan Perasaan yang Sesungguhnya

Bismillahirohmanirohim,

Cuaca di Jakarta panas luar biasa. Ditambah perubahan hormon yang sedang aku alami serta ngambeknya printer foto kesayangan, sukses membuat aku mati gaya. Aku malas untuk berkerja melanjutkan sejumlah daftar bahan tulisan yang menanti diselesaikan.

Bolak-balik aku menekan tombol remote TV, ada puluhan channel terdaftar di TV langganan, tapi tak satu pun menarik perhatianku. Lantas aku coba alihkan pandangan pada tumpukan buku yang tengah aku baca. Tapi lagi-lagi aku merasa tak selera menyelesaikannya. Sakit kepala akibat perubahan hormon ini rasanya makin menjadi. Aku menyerah. Aku butuh hiburan untuk melarikan diri dari rasa sakit ini.

“Teh, nonton di laptop aja yuk. Nina masih punya Netflix nih sampai bulan ini,” si bungsu yang belum ada seminggu kembali di rumah sepertinya mengerti penderitaan yang tengah aku alami. Dia pun lantas mengambil alih laptop mint kesayangan aku. “Teteh harus nonton ini geura.” Si mint kembali diserahkan padaku dengan browser yang sudah di full screenkan pada sebuah serial TV yang belum pernah aku tonton sebelumnya. Satu jam ke depan, aku pun dibuat hanyut pada sebuah dunia pastel bejudul Nosedive.

Nosedive, Season 3 Episode 1 Black Mirror

Black Mirror merupakan serial TV antalogi asal Inggris karya Charlie Brooker. Meski ini adalah serial tapi setiap episodenya memiliki pemeran, latar belakang, bahkan dunia yang berbeda. Secara keseluruhan cerita fiksi di Black Mirror ini menceritakan tema gelap dalam masyarakat modern, terutama mengenai dampak buruk kemajuan teknologi. Brooker sempat bercerita bahwa seluruh episode ini memiliki satu kesamaan, yaitu kisahnya sesuai dengan zaman yang kita alami sekarang. (sumber: Wikipedia)

Adikku secara spesifik menyuruh aku menonton langsung di season 3 episode 1, Nosedive. Adegan dimulai dengan seorang perempuan bernama Lacie Pound (diperankan oleh Bryce Dallas Howard) yang tengah melakukan ritual lari paginya.  Awalnya semua terlihat biasa saja. Usai lari pagi, Lacie bersiap menuju kantor, ia sempat menyapa adiknya Ryan, mengingatkan kalau mereka hanya tersisa waktu 4 minggu lagi untuk mencari tempat tinggal baru. Lacie pun sempat mampir sebuah cafe dan memesan capucino. Untuk sekian detik Lacie menunjukan ekspresi tidak suka pada minuman yang ia pesan, namun secepat kilat ekspresi itu hilang diganti senyum palsu. Ia pun mengabadikan gambar kopi paginya tersebut dan mengunggahnya pada smartphone yang tak pernah lepas digenggamannya.

Rupanya bukan cuma Lacei, tapi mayoritas tokoh di Nosedive ini tak pernah lepas dari smartphone. Semua sibuk memberikan rating orang-orang di sekitarnya. Begitulah kehidupan di tempat itu, semua tergantung dari rating di profil virtualnya.

Siang itu Lacei menemui seorang makelar rumah. Dia suka dengan rumahnya. Sayang harganya lebih tinggi dari perkiraannya. Tapi makelar itu mengatakan ada program diskon sebesar 20% bila rating berada di 4.5. Rating Lacei berada di 4.2 skala 5. Dia merasa optimis bisa mengejar angka 0.3 itu.

Selang beberapa waktu, Naomi, salah seorang teman sekolah Lacei yang memiliki rating 4.8, menghubungi Lacei. Rupanya ia baru saja bertungan dan meminta Naomi menjadi pendamping pengantin. Tentu saja Lacei bersedia. Mengingat rating Naomi dan tungangannya yang tinggi, pasti orang-orang yang hadir pun akan memiliki rating yang tinggi. Ini adalah peluang Lacei untuk menaikan ratingnya. Tak peduli bahwa sebenarnya saat masih sekolah Naomi adalah musuh terbesarnya yang suka membully dirinya.

Konflik pada film ini dimulai ketika menjelang pernikahan Naomi. Dalam perjalan menuju bandara, Lacei tak sengaja menabrak seorang wanita. Merasa jengkel pada Lacei, wanita itu pun memberikan rating rendah pada Lacei. Sesampainya di bandara ia mendapat kabar kalau pesawat yang seharusnya ia naiki batal berangkat. Solusi lainnya ada penerbangan khusus tapi hanya untuk yang memiliki rating 4. Karena merasa kesal emosi Lacei memuncak, hingga akhirnya ia mengeluarkan kata-kata kasar.

Media Sosial Membuat Aku Lelah

Aku tak ingin menceritakan kisah film ini sampai akhirnya. Khawatir kalian, para pembaca kesayangan aku, akan melabeli aku sebagai spoiler. Meski sepertinya aku sudah terlanjur bercerita lebih dari setengahnya. Semoga saja kalian masih mau memaafkan aku.

Sepertinya, adikku memilihkan episode Nosedive untuk kutonton ini bukan secara acak. Aku rasa dia sengaja memilihkannya khusus karena dia tahu kalau kakaknya ini begitu akrab dengan media sosial. Thanks to her, aku jadi semangat untuk menulis lagi.

Cerita Nosedive ini sedikit mengingatkan aku bagaimana perasaan aku belakangan ini. Aku mulai lelah dengan media sosial. Bukan semata-mata karena banyaknya berita kebencian, tapi karena aku lelah berusaha mengejar follower.

Kisah Nosedieve ini sebenarnya tak jauh beda dengan keseharian kita saat ini. Paling tidak, keseharian aku. Meski mungkin belum separah dalam film tersebut (dan aku berdoa kita tidak akan sampai pada situasi itu), tapi paling tidak aku pun sempat merasakan perasaan bagaimana rasanya aku harus rajin memposting demi bertambahnya follower. Like for like. Follow for follow. Rasanya aku mulai lupa bagaimana menggunakan media sosial untuk bersenang-senang.

Baca juga: Kok Kamu Gak Follow Back Saya sih?

“Instagram bikin capek ya,” kalimat itu tak sengaja aku dengar beberapa bulan lalu saat sedang liburan bersama mertua. Aku kurang tahu maksud kata capek itu ditujukan akibat lelah harus naik turun tangga di tempat yang memang tebilang instagramable, atau capek mengikuti apa yang sedang trend di Instagram.

Bukan cuma Instagram yang bikin aku capek. Begitu juga dengan menulis blog. Bukan karena menulisnya, tapi karena berusaha agar blog kita bisa naik peringkat. Ironis ketika saat ini kita tengah berusaha mengajarkan pada anak-anak bahwa rangking dan nilai itu tidak terlalu penting. Karena yang penting adalah kita telah berusaha sebaik-baiknya. Tapi kenyataannya di dunia dewasa, peringkat dan nilai tetap diperhatikan demi penghasilan yang lebih baik.

Ya, mungkin pada akhirnya aku kembali mengingatkan diri sendiri bahwa yang penting jangan lupa untuk bahagia. Jangan lupa untuk tetap menjadi diri sendiri. Jangan lupa untuk selalu menyisipi perasaan bahagia dalam melakukan pekerjaan apa pun.

Baca juga: Menyeimbangkan Diri Melalui Tulisan

Kalian bagaimana? Sudah nonton Nosedive? Bagaimana menurut kalian peran media sosial saat ini dalam kehidupan kalian? Mari bertukar pikiran lewat kolom komentar.

 

 

 

23 thoughts on “Nosedive, Ketika Rating Membuat Kita Terbelenggu Untuk Mengekspresikan Perasaan yang Sesungguhnya”

  1. Serem juga itu kayanya ya Teh kalau ga suka langsung nurunin rating. Temen-temenku kemarin juga pda bilang kecanduan banget Instagram dan bilangnya racun,tapi tetep buka IG tiap hari. Aku yang daridulu nggak punya instagram malah disaranin mereka biar nggak usah bikin aja. Hihi 😀

  2. Menarik nih kayaknya filmnya. Di depan nanti kurasa emang berpotensi banget hidup kita jadi kayak di cerita itu. Yang masih kayak gini aja udah bikin candu banget kan. Pastinya nanti teknologi akan lebih berkembang lagi dong. Dan gak heran kalo kita akan lebih kecanduan sampe jadi kayak di cerita itu. Tapi aku bingung itu baru tabrakan kok bisa langsung nurunin rating ya? Apa bisa langsung scan muka terus ketemu profile-nya gitu ya buat nurunin rating? Hem…

  3. Ya ampun pake rating2an. Sadis yaaa

    Aku tehh.. Juga benci sosmed sih sebenarnya. Terlalu terbuka. Kadang, gak bisa bedain mana yg ngasih info dan mana yg sedang sombong. Beda tipis deh

    Aku juga sedih teh, orang2 pada pegang hape. Ibu, masih menunda beli hp teh, uang dari aku dibuat modal lagi sama ibu. Tapi sebenarnya ibu juga pengen hp sih, tapi ya siapa yg akan dihubungi ibu, palingan juga aku dan ayah

    Kalau lagi di keramaian teh, pas aku lagi duduk sama ibu. Sebisa mungkin aku membalas wa cepat2, lalu memasukkan hp ke tas. Kugenggam erat tangan ibu teh. Aku gak mau ibu iri dgn orang2 yg pada sibuk dgj hp nya, termasuk ke aku. Makanya aku mesti megang tangan ibu kalau ibu lagi bareng sama aku teh. Sedih teh. Ini bagian dari rasa kasih sayang teh. Aku sayang ibu teh

  4. Keren juga tuh ya. Kerjaan tiap orang ngasih rating untuk orang lain dan rating itu berpengaruh di berbagai aspek kehidupan

    Saya punya media sosial, mulai dari friendster dulu sampai Instagram di zaman sekarang ini, tetapi saya tidak terlalu aktif disana. Istilahnya, punya media sosial karena ikut-ikutan hahaha. Tetapi sisi positifnya, saya tidak terlalu dipusingkan dengan media sosial 😀

    Akan tetapi, saya sangat ingin aktif sebagai blogger. Blog adalah tempat dimana saya bisa bebas menyalurkan ide-ide saya, tanpa dibatasi oleh jumlah karakter. Sempat terjebak rasa bosan lama sekali, karena udah capek nulis, tapi nggak ada yang baca hahaha -_- Dan mulai beberapa bulan ini, saya mulai aktif lagi menulis di blog karena tangan ini sudah nggak tahan mau bikin tulisan di blog. Prinsip saya menulis di blog hanya untuk menyalurkan ide tulisan yang tidak bisa saya simpan sendiri, nggak peduli mau dibaca orang atau nggak hehe 😀

    Wah maaf kepanjangan mbak hahaha :))

  5. Aku belum nonton dan pengen nntn jg. Ngrasa tersentil krn seringnya kita menilai org dr sosial media. Habis gimana, kdg di sosmed mereka julid sih. Enak banget buat bully #eh #maap

  6. Kayanya menarik nih, coba aku masukin ke to do watch.

    Tapi, aku tertarik bahas di bagian: “tapi karena aku lelah berusaha mengejar follower”
    Yang buat aku bilang: “aduh apa sih”. “Kok gini, sih?”
    Jawabannya muncul sih di paragraf berikutnya. “Rajin posting buat tambah follower”.

    Nah, kita terjebak di masalah quantity, (di postingan Tiwi lagi dibahas), aku selalu percaya quality better than quantity, percuma rajin posting kalau gak berkualitas, percuma banyak tapi gak ngena.

    aku, belum sampai ke tujuan sih, selalu berusaha buat ningkatin kualitas, makanya di level sekarang aku ndak bisa posting blog tiap hari, karena aku ndak bisa bikin postingan berkualitas tiap hari, seminggu sekali aja udah bagus, tapi masih belum bisa juga.

    di paragraf berikutnya, bahas tentang nilai.

    Nah, mari sepakati. Kita lupakan dulu hasil, kita fokus di proses. Karena hasil tak akan pernah mengkhianati proses, kalau fokusnya di hasil, kita akan mengabaikan proses.

    Jadi, mari, kita belajar bersama-sama untuk meningkatkan kualitas kita. Semangat.

    1. Itulah sebabnya aku masukin link tulisan Tiwi di tulisan. Karena aku pun teringat tulisan Tiwi. Iya, otak aku loncat sana kemari, karena buat aku sekarang nulis blog, posting IG semua jadi kaya satu kesatuan.

  7. Banyak episode tetapi setiap episodenya berbeda sudut pandang? Boleh juga nih di tonton.

    Rating seseorang mah tidak akan ada habisnya apalagi yg followersnya besar ratingnya gede capek cyin. Mendingan followers dikit kita kenal baik drpd banyak followers yg tak kita kenal baik

    Saya juga capek mba kejar followers lelah udh di follow eh di unfollow *kokjadicurhat.

  8. Ini nih yang sedang terjadi di dunia. Orng mati-matian may naikin nilai alias rengking mereka di dunia sosmed, entah itu blog, fb, IG, Twitter dll. Sibuk follower for follower, u unfollow gue unfol balik. Hahahaa…ya gitu deh terus menerus. Kualitas agak terabaikan, yg penting orng suka, gitu kan ya hmmmm

  9. aku kok jadi inget sama para ojol yang hidupnya tergantung rating jg.

    iya loh bapak ojolnya cerita, kalau para pemakai jasa ojol itu jrg yg baik hati kayak aku, kasih rating 5. trus kalau ada kesalahan sedikit org org pada langsung kasih rating satu, padahal itu kdg salahnya cm terlambat sampe, atau ga nelpon penumpang dulu.

    kalau soal instagram, aku sih terus terang aja, dulu ig ku itu kugembok dan yg ku follow cm teman teman dekat yg hanya 90 org. tp berhubung profesi skrg ini perlu bgt socmed terpaksalah ig itu aku buka, dan aku akan follow org yg jg follow aku. tp kalau mereka unfollow ya aku jg akan unfollow hahaha… soalnya ga perlu perlu amat kepo ama insta feed mereka

  10. Beli follower aja, Sist kaya ATT *eadibahas
    Duh udah lama nggak nonton drama seru kaya di atas tapi yangvjelas Neflix memang punya film menarik yah…
    Nanti coba ah nonton heheh..
    Media sosial memang melelahkan Mbak..
    Beristirahatlah darinya sekali2

  11. Sepertinya seru. gimana weird-nya mereka dengan sosial media demi image yang waw dimata orang lain. Semua sosmed yang berhubungan dengan orang lain itu bikin capek dan selalu nagih, gak cuma instagram, tapi facebook. sering banget ngepoin hidup si anu si itu, tapi lama kelamaan, aku sadar, waktu terbuang sia-sia dengan stalking akun mereka yang gak ada manfaatnya sama sekali di aku. dan perubahan itu muncul, jadi asik sendiri dengan smartphone, gak bisa jauh, selalu pang ping pang ping, bikin kehidupan sosial kita. nanti aku coba liat trailer nya deh, kalau oke banget, baru nerusin ehehehe

  12. ini yang buat ide ceritanya keren ya, karena menurutku di masa depan hal ini sangat mungkin terjadi. sekarang aja udah kelihatan gejalanya.

    btw, kok sama ya mbak. aku saat ini juga lagi males bermedsos. entah kenapa males banget mau posting. padahal biasanya diusahain sehari minimal satu. tapi akhir-akhir ini seminggu paling juga sekali.

  13. Jadi kaya Gojek yaaa…manusia dikasih rating?

    Aku pun terasa lelah, teh…
    Kadang ingin sehariiii aja bergumul dengan lautan buku yang keseringan nambahnya tapi jarang bacanya.
    Hhahha….**ketawa sedih

    Pingiiin kaya orangtua jaman dulu yang kerjaannya ngurusin keluarganya total, gak sambil ini-itu.

    Balik lagi yaa, teh…
    Every choice has a consequence.

  14. Media sosial itu menjerat
    Membelenggu
    Bahkan bisa jd perangkap
    Apalagi bg mereka yg jadikan sosmed sbg sarana pencitraan
    Mau tak mau dia harus selalu menampilkan hal hal yg bagus di sosmed
    Bahkan terkesan memaksa kan diri

  15. Buahahahaha, emang follower bikin kita stress, bener sih mbak, apalagi kita hidup di jaman millenial, yahhh beginilah penderitanya. #DuniaFaisol

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *