Uncategorized

The Day I Met Him

Bismillahirohmanirohim,

Jumat malam, menikmati rikngseknya badan efek pulang dari Bandung, mau nulis enggak sanggup, mau baca buku juga lelah, tidur enggak bisa karena Mas Met masih belum pulang, jadilah membuka-buka media sosial menjadi kegiatan yang rasanya sanggup dilakukan saat itu. Mataku tertuju pada sebuah postingan blog milik seorang teman. “How We First Met,” begitu judul di blog milik Mbak Noni, yang menceritakan bagaimana pertemuan dia dan suaminya.

Sebagai pecinta drama dan kisah-kisah romantis, cerita bagaimana seseorang berkenalan dengan pasangan hidupnya menang selalu menarik buat aku. Mau enggak mau aku pun akhirnya jadi kegoda deh, pengen ikutan nulis tema “how we first met” ini untuk ODOP hari ke 26 yang ditulis di Agustus 27 pagi ini. So, let the story begin…

Mari masuk ke lorong waktu sejenak. Setting waktu aku putar di tahun 1999. Aku masih berseragam putih abu-abu kala itu. Libur kenaikan kelas 3 itu aku isi dengan hobi baru, berselancar di dunia maya. Hobi yang sekilas membuat aku seperti anak baik-baik yang betah diam di rumah, tapi ketika waktu tagihan telepon datang akan membuat mamaku berteriak “Teteh, ini kenapa tagihan telepon mahal banget.”

mIRC -Internet Relay Chat, sebuah tempat chatting yang diciptakan oleh Khaled Mardam-Bey yang diresmikan pada tahu 1995, menjadi sahabat aku di pertengahan tahun 1999. Setiap jam 9 malam lewat, kala lampu-lampu di rumah mulai dipadamkan dan seisi rumah beranjak tidur, aku pun akan mengendap-endap keluar kamar, ke tempat komputer berada, dan memulai koneksi di internet, siap menyapa teman-teman di dunia maya.

“Suka chatting ya?” pertanyaan itu ditanyakan oleh teknisi tempat aku berlangganan internet yang hari itu berkunjung ke rumah karena aku mengeluhkan adanya gangguan. Melihat anggukan aku, pria itu pun kembali mengutak-atik komputer yang berada di rumah ku. “Ini saya install-in ICQ, bisa lebih privat lagi chattingnya.”

Plaftform chatting yang berlambang bunga itulah yang akhirnya menjadi tempat pertemuan aku dan Mas Met. Entah siapa yang mulai menyapa duluan, tapi yang jelas, percakapan kami di dunia maya menjadi kegiatan sehari-hariku. Biasanya aku chatting sampai menjelang dini hari, sebelum penghuni rumah lainnya mulai bangun. Di bulan Juli, tiba-tiba saja Mas Met meminta no telepon rumah sebelum aku mengakhiri percakapan kami hari itu. Aku pun memberikan no teleponku. Pagi itu juga, setelah aku memutuskan koneksi internet, telepon di rumah berdering. Percakapan kami melalui suara pun dimulai.

Hampir tiap malam, Mas Met akan menelepon aku, kegiatan chatting malam-malamku pun mulai berkurang jadinya. Beberapa kali aku mencoba mengajak kopi darat, tapi selalu ditolak. Aku sempat berpikir kalau dia memang tak berniat bertemu aku (walau sekarang sih tahu kalau ternyata dia enggak tahu jalanan Jakarta), sampai akhirnya aku tak pernah lagi mengajak bertemu. Tahu-tahu Mas Met mengajak bertemu di bulan Desember 1999.

Bertempat di Plaza Atrium, kami berjanji jam 12 siang di depan bioskop. Mas Met sempat bertanya, bioskop di lantai berapa, aku yang juga lupa menjawab asal, di lantai paling atas. Well, biasanya kan bioskop memang di paling atas kan ya? Yang ternyata salah. Bioskop satu lantai di bawah lantai paling atas yang menjual perlengkapan mobil.

Aku datang lebih dulu. Mas Met sempat menelepon bilang akan sedikit terlambat karena di luar hujan. Di depan bioskop aku pun mulai celingak-celinguk mencari sosok yang katanya berbadan tinggi kurus, dan akan mengenakan kemeja putih. Ada beberapa pria tinggi, tapi tidak pakai kemeja putih. Ada yang berkemeja putih tapi tidak tinggi.

Saat itu pandanganku tertuju ke arah eskalator. Dari eskalator yang turun aku menangkap sosok yang tengah terburu-buru menuruni anak tangga. Celana jeans, kemeja putih, tinggi, sepertinya itu dia, pikirku dalam hati. Saat eskalator mengantarkan dia di lantai yang sama denganku, bahasa tubuhnya berubah. Yang tadinya terlihat buru-buru, kini dia melambatkan langkahnya. Sok cool sih, setelah menganal dia sekarang ini. Ketika jarak kami tinggal beberapa meter, pandangan kami bertemu, bibirnya membentuk pertanyaan “Dian ya?” dengan alis kiri yang naik sebelah.

Kami pun berkenalan sekali lagi sebelum menonton Toy Story 2. Setelah menonton Mas Met bersikeras mengantarkan aku sampai ke rumah. Siapa sangka di rumah sudah ditunggu papa-mama yang ingin berkenalan. hahahaha…. Malah aku baru tahu, kalau mama sempat memberi kode kalau siapa pun yang akan jadi suamiku harus sarjana, yang akhirnya menjadi alasan Mas Met untuk mendaftar kuliah beberapa bulan kemudian.

Well, itu cerita pertama kali aku berkenalan dengan Mas Met. Enggak pernah ada kata jadian diantara kami. Enggak ada tembak-menembak. Kami hanya jalani begitu saja, yang akhirnya saling membuat kesimpulan kalau kami pacaran.

Cerita ini aku akhiri di sini ya. Lain kali akan aku lanjutkan. Sekarang giliran kalian menceritakan bagaimana kalian bertemu dengan pasangan kalian.

#ODOP, #BloggerMuslimahIndonesia, #ODOP26

13 thoughts on “The Day I Met Him”

  1. So Sweet, teteh…
    Aku sama suami sama-sama teman SMA. Pernah sekelas hanya pas kelas 1.
    Lalu suami keterima di salah satu kampus negeri di Bandung, lalu dia hijrah. Kami gak putus kontak. Tetep sms-an. Tapi hanya sebagai teman.

    Makin lama makin cocok ngobrolnya.
    Karena dia orangnya gak banyak ngomong, jadi aku nyaman banget kalo ngomel ke dia.

    Sampai akhirnya pacaran selama 5 tahun baru menikah.
    Ahhahaa….aku bikin blogpost di kolom komentar teteh.

    Afwan yaa, teh Di sayaaang…
    Gatel pingin cerita jugaa…

  2. Ehemm ternyata teteh awalny ,,,namany jodoh ya,. Ngga dimana dn kemana,, pd akhirnya brsatu samawa smp akhirnya,,

  3. Wah teknisinya berjasa ya mbak, mempertemukan mbak ma suami hehe.
    Kalau aku gak jauh2 jg seh, ketemu krn FB, kopdar, lamaran, nikah, insyaAllah bulan depan 6 thn pernikahan 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *