film brain on fire

Film Brain on Fire, Kisah Tentang Seorang Jurnalis yang Otaknya Terbakar

Bismillahirohmanirohim,

film brain on fire

pic source: IMDb.com

Sulit tidur, sesak napas, paranoid, semua tanda-tanda itu sering kali dianggap sebagai masalah kejiwaan. Tapi ternyata belum tentu. Lewat film Brain on Fire yang aku tonton sekitar bulan lalu, aku jadi tahu, kalau ternyata semua tanda-tanda itu bisa juga disebabkan oleh serangan imunitas.

Film Brain on Fire ini sebenarnya sudah tayang sejak 2016 lalu. Tapi seperti biasa, aku baru menontonnya lewat channel TV berbayar bulan lalu. Film ini yang diangkat dari buku berjudul Brain on My Fire: My Month of Madness ini merupakan kisah nyata penulisnya, Susannah Cahalan.

Sebelum aku melanjutkan tulisan review film Brain on Fire ini, aku mau kasih peringatan dini dulu. Tulisan ini agak mengandung spoiler allert! Jadi kalau yang merasa enggak kuat iman, aku ikhlas bila tidak ingin melanjutkan membaca tulisan aku.

Sinopsis Film Brain on Fire

film brain on fire

pic source: IMDb.com

Judul Film :

Brain on Fire

Produksi :

Broad Green Pictures

Sutradara dan Penulis Skenario :

Gerard Barrett

Pemain :

Chloe Grace Moretz, Jenny Slate, Thomas Mann, Tyler Perry,

Carry-Anne Moss, Richard Armitage

Durasi :

95 menit

film brain on fire

pic source: IMDb.com

Susannah Cahalan (Chole Grace Mortez), serorang jurnalis muda di New York Post. Di usianya yang baru menginjak angka 21, seolah ia memiliki segalanya. Karir yang cukup gemilang, pacar yang perhatian, orangtua yang meski sudah bercerai tapi tetap harmonis dan selalu memberikan kasih sayang yang berlimpah.

She’s so happy. Sampai-sampai Margo (Jenny Slate), rekan kerjanya menganggap kebahagiaanya itu enggak normal bagi orang New York. Menurut Margo, orang New York itu dari pagi mukanya sudah ditekuk karena banyak beban pikiran.

Tapi kebahagiaan Susannah hanya ditampilkan sesaat. Diawali dengan flu dan deman, Susannah mulai sulit fokus dalam bekerja. Ia sempat memeriksakan diri ke dokter, dan menurut diagnosa dokter ia hanya terkena flu dan  kelelahan. Ia pun terus beraktivitas normal.

Sampai suatu malam, Stephen (Thoman Mann), kekasih Susannah, terbangun oleh suara-suara yang dikeluarkan oleh Susannah. Awalnya Stephen berpikir kalau Susannah mengingau, tapi ternyata Susannah mengalami kejang-kejang. Akiabt peristiwa ini, kedua orangtua Susannah mulai menyadari kalau kondisi anak mereka tidak sehat.

Drama dalam film The Brain on Fire ini menurut aku sangatlah menarik. Aku sebagai penonton, diajak berpikir dan berasumsi kalau Susannah mengalami bipolar atau skizofrenia, mengingat emosi Susannah yang berubah-ubah juga perasaan dia yang berpikir bisa mendengar pikiran-pikiran orang.

Tapi bukan hanya aku yang berpikir seperti itu. Tim dokter yang mengobati Susannah pun berpikir demikian. Mereka merekomendasikan Susannah untuk dipindah ke rumah sakit jiwa. Hanya kedua orangtua Susannah juga Stephen-lah yang selalu yakin kalau apa yang dialami Susannah bukanlah masalah kejiwaan.

Anti NMDA Receptor Enchepalitis, Otak yang Terbakar

film brain on fire

pic souce: IMDb.com

Untungnya ada salah seorang dokter dalam tim dokter yang merawat Susannah berpikiran sama dengan kedua orangtua Susannah. Dokter ini membawa berkas-berkas Susannah pada dokter Souhel Najjar, seorang dokter ahli bedah otak yang lebih memilih menjadi dosen alih-alih mengobati pasien.

Test yang dilakukan dr. Najjar ini terbilang unik. Bukannya mengambil darah atau MRI, dr. Najjar justru hanya meminta Susannah untuk menggambar jam. Dari hasil gambarnya inilah akhirnya diketahui kalau apa yang dialami Susannah bukanlah masalah kejiwaan, melainkan kerusakan otak.

Anti NMDA receptor enchepalitis, atau juga biasa disebut dengan brain on fire, otak yang terbakar. Itulah yang dialami oleh Susannah. Ini bukanlah penyakit yang disebabkan oleh bakteri ataupun virus. Ini adalah suatu kondisi dimana antibodi menyerang reseptor di dalam otak, sehingga akhirnya menyebabkan orang tersebut terjebak dalam tubuhnya sendiri.

When the brain is working to remember something, similar patterns of neurons fire as they did during the perception of the original event. These networks are linked, and each time we revisit them, they become stronger and more associated. But they need the proper retrieval cues–words, smells, images– for them to be brought back as memories.

-Susannah Cahalan

Merenung Setelah Nonton Film Brain on Fire

Kayanya bukan DianRavi kalau habis nonton film terus enggak merenung dan jadi baperan. Iya, aku terus kebawa pikiran soal film Brain on Fire ini. Kenapa?

Karena aku pernah menjadi orang yang didiagnosa mengalami depresi sekaligus mengalami autoimun. Memang akhirnya aku enggak pernah berobat secara tuntas. Karena mamaku lebih rajin membawa aku berobat herbal.

Tapi setelah nonton film Brain on Fire ini, mau enggak mau aku kebawa mikir, jangan-jangan sebenarnya yang aku alami itu cuma masalah autoimun saja, bukan plus depresi. Gejala depresi dan anti NMDA receptor enchepalitis ini memang kurang lebih sama, hingga tak jarang akhirnya dibikin kesimpulan kalau terkena masalah kejiwaan. Sama halnya yang dialami Susannah ini.

Ah sudahlah. Hari-hari itu sudah lama berlalu. Berdoa saja aku tak perlu mengalami hal-hal itu. Lebih baik fokus pada ke depannya. Seperti juga yang dialami Susannah, perlahan ia kembali pulih. Ia mulai belajar kembali dari nol. Belajar berjalan, berlajar menulis, dan belajar untuk bangkit. Lucky for her, she had a support system, orangtua dan kekasih yang selalu siap mendampinginya memulai semuanya dari awal.

I am far, far away from here. I am myself again

-Susannah Cahalan

About The Author


dianravi

Dian Safitri, travel and lifestyle blogger muslimah yang berdomisili di Jakarta, Indonesia. Pecinta kopi dan makanan. IVF Surviver.

1 Comments

  1. Aku satu org yg diagnosis psikotik akut apakah ada kmungkinan aku sbnrnya menglmi hal yg sama seperti tokoh flim ini atau pada kasus ku brbeda?

Leave a Comment