Assalamu alaikum,
Hal yang paling dinantikan kala liburan lebaran adalah mudik ke rumah mertua di Bondowoso. Apalagi tahun ini suami mengambil cuti super panjang. Total 15 hari dari berangkat sampai pulang lagi. Hore…..
Langsung brosing tempat wisata yang ga jauh dari Bondowoso. Salah satu yang keluar adalah Kawah Wurung. Hey, apa itu, pikirku dalam hati. Kalau liat di fotonya tampak cantik sekali. Sebuah bukit yang mirip dengan bukit teletubies nya gunung Bromo. Lokasinya ada di Jampit, satu arah dengan Kawah Ijen. Ada juga penginapan-penginapan di kebun kopi. Kayanya sangat menarik kalau bikin rencana menginap sambil daki ke Kawah Ijen, pikirku.
Tapi rencana tinggalah rencana. Karena di awal puasa kami mendapat berita Gunung Raung meletus. Suami langsung ga yakin kami bakal bisa ke Kawah Ijen, mengingat lokasinya yang ga terlalu jauh.
Hari lebaran pun tiba. Akhirnya kami malah lebih deg-degan mikirin nasib penerbangan kami menuju Surabaya. Efek abu dari gunung Raung menyebabkan beberapa bandara terpaksa ditutup. Termasuk bandara Juanda, tujuan kami untuk mencapai kampung halaman suami. Bersyukur kami mudik hari ketiga setelah lebaran. Bandara Juanda sudah beroperasi kembali. Dari Surabaya kami masih harus lanjut ke Bondowoso via jalan darat menggunakan travel.
***
Tiba di Bondowoso kami disambut hujan abu. Sesuai dugaan, Kawah Ijen ga mungkin kami kunjungi. Tapi ternyata bukan cuma aku yang penasaran sama Kawah Wurung, tapi adik ipar juga. Akhirnya kami bikin rencana untuk main ke Kawah Wurung sambil silaturahmi ke keluarga yang ada di Situbondo.
Jadi rencananya adalah, pagi-pagi kami sekeluarga (aku, suami, ibu mertua, bapak mertua, adik ipar 2, sepupu, dan supir) akan ke Situbondo. Mengunjungi beberapa keluarga yang tinggal di sana. Kemudian sepulangnya kami akan langsung ke Kawah Wurung. Kebetulan adik ipar yang paling kecil sebelumnya sudah pernah ke sana, jadi dia kami jadikan sebagai guide.
Kawah Wurung masih termasuk dalam wilayah Bondowoso, letaknya ada di desa Jampit, kecamatan Sempool. Aku agak terkejut dengan rute jalan yang kami lewati. Terus terang aku membayangkan jalanan rusak sepanjang jalan. Tapi ternyata, jalanan cukup bagus, meski ada titik-titik jalanan rusaknya. Tapi jalanan bagus ini hanya sampai jalanan utama ya. Ketika kami berbelok memasuki perkebunan kopi, jalanan pun berubah jelek.
Untuk sampai ke Kawah Wurung, kami harus melewati kebun kopi, perkampungan, dan jalanan tanah yang menanjak (namanya juga ke bukit ya pasti nanjak). Pemandangan yang ditawarkan sangat menggoda lensa kamera. Sayang, aku ga sanggup untuk mengabadikannya, karena pikiranku terganggu oleh kondisi adik ipar yang mabuk parah.
Kendaraan yang kami tumpangi tak berani meneruskan perjalanan sampai ke gerbang Kawah Wurung. Aku memutuskan untuk mencoba melanjutkandengan jalan kaki. Fresh air, daripada terperangkap dengan pemandangan orang mabuk, pikirku.
Yang ga aku pikirkan adalah, apakah aku sanggup menanjak? Tapi berhubung udah gengsi dengan aksi turun dari mobil maka aku melanjutkan perjalanan. “Pelan-pelan aja. Nikmatin suasana,” kata suamiku memberi semangat.
Berjalan santai sambil sesekali memoto, akhirnya kami sampai di pos Kawah Wurung. Oh iya, kami ini akhirnya hanya terdiri dari aku, suami, adik ipar paling kecil, dan sepupu suami. Tiket masuk dikenakan Rp 3.000 per orang.
Kawah Wurung sebenarnya adalah sabana dengan kontur berbukit-bukit. Nama Wurung sendiri diambil dari bahasa Jawa yang berarti “tidak jadi”.
Entah berapa lama kami berjalan untuk sampai ke bukit tertingginya. Napasku udah tersenggal-senggal. Rasanya ingin menyerah. Untung suami dengan setia bolak-balik ngingetin “Udah sampai di sini, rugi kalau ga nyampe. Tuh liat pemandangan bagus. Ayo foto-foto.” Akhirnya, aku pun berhasil sampai ke bukit yang paling tinggi.
Saat kami sampai di Kawah Wurung, kabut bolak balik turun dan hilang. Jadi foto-foto pun harus extra buru-buru. Karena kalau embun turun kan jadi ga keliatan pemandangannya.
Ini dia foto-fotonya:
Gimana? Berminat main ke Kawah Wurung? Yukkk! Tapi jangan lupa bawa kantung plastik sampah ya, biar ga mengotori alam.
Cheers,
***Cerita ini ditulis dalam rangka mengikuti Lomba Blog Kompas Travel Fair 20015***
Recent Comments