Klenteng Sam Poo Kong, Napak Tilas Jejak Laksama Cheng Ho di Semarang, Indonesia

Bismillahirohmanirohim,

Hari mulai beranjak sore. Matahari sudah tidak terlalu terasa terik lagi, bahkan cuaca mendadak cenderung mendung. Hanya menyisakan keringat-keringat yangΒ terlanjur membasahi tubuh kami sisa perjalanan siang tadi. Aku keluar dariΒ taksi setelah membayar ongkos perjalanan yang membawa kami dari Lawang Sewu hingga ke Sam Poo Kong. Aku lupa berapa persisnya yang kubayarkan, karena kejadian ini berlangsung di 2014 lalu. Tapi aku masih ingat betapa sejuknya ac taksi itu menghapus jejak-jejak keringat akibat seharian berjalan kaki dari Kota Tua hingga Lawang Sewu.

Sam Poo Kong! Aku menatap pintu masuk yang didominasi warna merah itu. Akhirnya aku berhasil juga menjejakkan kaki di Sam Poo Kong ini. Setelah dua tahun sebelumnya aku gagal mengunjungi tempat ini karena mama lebih ingin mengunjungi Masjid Agung Jawa Tengah. Β Aku bergegas membayar tiket masuk sebesar Rp 6.000 untuk 2 orang. Bukan apa-apa, aku terlalu khawatir kalau Klenteng ini akan keburu tutup mengingat hari sudah sore. Tak ada keterangan jam bukanya saat aku masuk ke dalam. Tapi begitu aku melihat tanda “MUSHOLA” tak jauh dari gerbang utama, aku pun mengajak Mas Met untuk menunaikan shalat Ashar terlebih dahulu sebelum kami melihat-lihat napak tilas Jendral Cheng Ho di Semarang.

“Ngapain harus ke sini sih? Ga bosen apa dari kemarin kita udah udah wisata dari Klenteng ke Klenteng? Ga ada bedanya kalau menurut aku sih,” Mas Met akhirnya mengeluarkan unek-uneknya yang kayanya sudah dia pendam sepanjang perjalanan dari Lawang Sewu menuju Sam Poo Kong, usai shalat.

Aku cuma tersenyum menanggapi protesnya. Iya juga sih, dua hari kemarin kami sudah menghabiskan waktu di Lasem dengan mengunjungi wisata budaya di Lasem. Ada 2 Klenteng yang kami kunjungi saat itu. Ga heran kalau Mas Met merasa bosan lagi-lagi melihat bangunan yang selalu didominasi warna merah.

“Tapi Sam Poo Kong ini punya cerita yang beda loh sama Klenteng yangΒ kita kunjungi di Lasem kemarin,” akhirnya aku menjawab pertanyaan Mas Met, sambil melangkahkan kaki memasuki area klenteng yang seluas 1.020 meter persegi ini.

“Karena Klenteng ini bekas peninggalan Cheng Ho? Kalau cuma itu aja sih aku juga tahu.” Meski pun protes terus dikeluarkan dari mulutnya, tapi kamera nikon kesayangannya pun mulai mengabadikan gambar demi gambar. Aku cuma bisa tersenyum aja kala melihat suamiku seperti ini. Kok bisa mulut protes tapi ngambil gambarΒ mah tetep jalan. Artinya kan dalam hatinya senang, cuma karena capek aja jadi protes.

“Iya, Klenteng Sam Poo Kong ini memang bekas peninggalan dan pendaratan pertamanya Β Cheng Ho, seorang Laksama Tiongkok. Tapi menurut cerita, sebenarnya bangunan ini didirikan Jendral Cheng Ho sebagai masjid.”

Mas Met menurunkan kamera dan menatap ke arah aku. Dari tatapannya aku tahu, dia mulai tertarik dan meminta aku menjelaskannya lebih lanjut.


“Kalau soal Cheng Ho itu seorang muslim kamu pasti udah tahu kan ya. Cheng Ho atau Zheng He yang punya nama arab Haji Mahmud Shams dan nama asli Ma He, merupakan seorang kasim muslim kepercayaan Kaisar Yongle di jaman Dinasti Ming. Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke 15. Namanya jelas bisa bersanding dengan penjelajah besar lainnya seperti Bartolemus Dias, Marco Polo, Vasca de Gama, hingga Christopher Colombus. Bahkan katanya kapal laut yang dibawa oleh Cheng Ho ini 7 kali lebih besar dari kapal lautnya Christopher Colombus.

“Ketika sedang melewati laut Jawa, banyak awak kapalnya yang jatuh sakit, sehingga ia memerintahkan untuk menepi di pantai utara Semarang dan berlindung di sebuah goa dan mendirikan masjid. Nah di sini ini tempatnya, di sebelah barat daya kota Semarang.

“Karena bangunan ini memiliki arsitektur bangunan Cina, akhirnya banyak yang menganggap kalau tempat ini adalah Klenteng. Akhirnya pun memang tempat ini dijadikan sebuah Klenteng. Bahkan Laksmana Cheng Ho sendiri dianggap seorang dewa di Klenteng ini.”

“Pantes kalau kamu maksa banget harus ke sini. Ternyata kamu emang udah baca-baca sejarahnya ya.”

Kali ini aku menyengir lebar. Bangga karena kali ini aku sudah tahu lebih dulu dari Mas Met. Padahal suamiku ini senang sekali belajar sejarah. Bahkan pernah sampai bilang pengen kuliah lagi tapi Β jurusan sejarah. Usai bercerita kami pun mulai menikmati komplek Sam Poo Kong ini.

Komplek Sam Poo Kong ini selain luas juga terasa nyaman. Ada banyak pohon yang membuat teduh. Bangku-bangku untuk duduk pun tersedia.

Ada beberapa bangunan di Klenteng Sam Poo Kong. Tapi bangunan utama yang paling besarlah yang dulunya merupakan gua batu tempat Laksamana Cheng Ho menjalankan ibadah shalat. Karena sekarang sudah menjadi Klenteng, tentu saja tak sembarang orang yang boleh masuk, hanya yang akan beribadah saja yang boleh masuk ke dalam. Β Padahal katanya di dalam terdapat patung Β Cheng Ho yang dilapisi emas untuk sembahyang memohon doa restu keselamatan, kesehatan dan rejeki. Di bangunan ini juga di dindingnya dihiasi relif yang mengisahkan perjalanan Cheng Ho dari daratan Cina sampai ke Jawa.

Aku Β harus berpuas diri hanya melihat dari luar saja. Untung saja di depan terdapat patung Laksama Cheng Ho yang besar. Sehingga paling tidak aku bisa menghibur diri dengan berfoto di patung ini.


Di seberang bangunan utama tampak sebuah bangunan yang tak kalah besar. Di depannya terdapat patung dewa-dewa yang tak bisa aku sebutkan namanya meski Mas Met sudah bolak-balik mengabsenkannya pada aku. Β Aku pribadi kurang tahu fungsi bangunan ini. Sepertinya semacam aula, karena ketika kami masuk hanya ada ruangan kosong saja. Kami pun bisa leluasa berpoto-poto di sini.

Sam Poo Kong yang berdiri saat ini merupakan hasil dari renovasi besar-besaran yang berlangsung dari tahun 2002 hingga 2005, menjadi salah satu wisata sejarah sekaligus wisata religi yang berada di ibukota Jawa Tengah. Rasanya buat siapa pun yang belum pernah mengunjungi Sam Poo Kong, tak ada salahnya untuk menyempatkan diri berkunjung saat berada di Semarang. Untuk mencapainya, silakan menuju jalan Simongan Raya. Kalau bawa kendaran pribadi, mbak google maps tentunya akan siap membantu memberi arahan jalan.


Posisi matahari semakin rendah. Kami pun memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk beristirahat. Sebenarnya rencana semula kami masih ingin mengunjungi rumah kerabat di Semarang, tapi baik aku dan Mas Met langsung ga pede mengingat kucel dan bau keringatnya kami akibat bertualang seharian. Lebih baik kami bebersih diri dan bersiap untuk kembali ke ibukota dengan kereta api besok pagi.

source: wikipedia
All photo are taken by Metra Ravi

21 Comments

Add Yours →

saya kemarin habis berkunjung kesini juga mbak Dian..tapi waktu itu rame banget..saya tulis juga di blog..sayang dulu nya masjid skg jadi klenteng..kan om Sam Po Muslim

Wahhhhh seruuuu….
Aku pengen ke sini ah nanti kalau ke Semarang. Banyak tempat buat foto-foto. Walaupin lebih enak kalau sama Suami…
*brb cari suami dulu

Ini salah satu tempat yang udah aku incer kalau ke Semarang. Liat postingan ini jadi makin-makin, kan πŸ™
Kalau ke sini enaknya pasti pas weekday nih. Sepiiiiiii

Habis lebaran tahun lalu saya ke sini, berasa kayak di Lapangan Tian Nanmen di Tiongkok. Sayang waktu itu gerimis dan kesorean, jadi nggak begitu banyak eksplor.
.
.
.
Saya belum pernah ke Tiongkok.

Ooo awalnya itu mau dibuat masjid ya mbak? Tapi sekarang jadi klenteng. Saya takjub dalam klenteng ada mushola, eh di dalamnya apa di deketnya yak hehe πŸ˜€
Btw tiket masuknya murce ya πŸ˜€
TFS

wah kok masuk klenteng bayar ya mba? tapi bagus kayanya tuh wisata kesana. apalagi ada karakter karakter bersejarah. Mirip kaya karakter 3 Kingdom hehe

Panglima Cheng Ho ini mengagumkan sekali.
Di Surabaya pun ada masjidnya.
Jadi saya tidak merasakan perbedaan RAS dan SUKU kalau berada di masjid tersebut.

Kembali belajar sejarah memang menyenangkan.

Leave a Reply