Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com
Mata ku tampak berkunang-kunang. Ruangan ini sepertinya berputar-putar dan akan runtuh. Sebelum akhirnya pandangan ku gelap total, samar-samar aku masih mendengarkan penjelasan dokter, “Maaf ya Bu, Pak. Semuanya masih belum berhasil…” Brak. Aku pun terjatuh. Pingsan.
***
Perlahan aku membuka mata. Ku dapati diriku tengah di dalam mobil. Terdengar alunan lagu Dan dari Sheila on 7 bercampur dengan suara dari pria di sebelah aku. Pria itu nampaknya sadar kalau aku sudah bangun. Dia menoleh dan menyapa.
“Hey, udah bangun. Kita bentar lagi sampai nih,” ujar Patra, menyadarkan keberadaan diriku saat ini.
“Aku ketiduran ya? Maaf ya. Udah dimana ini?”
“Kita udah di Situbondo. Harusnya sih ga lama lagi kita sampai. Nyenyak tidurnya?”
Aku mengambil nafas panjang. “Ya gitu aja, masih mimpi yang sama.”
Patra menatap ku dengan rasa khawatir. Tangan kirinya menggenggam tangan ku. “Sabar ya, Sayang. Nanti perlahan-lahan kamu bakal bisa melupakan mimpi itu kok.”
Aku hanya diam. Ku alihkan perhatian ku keluar jendela. Aku sama sekali ga berniat melanjutkan percakapan ini. Nampaknya Patra juga mengerti. Dia kembali mendendangkan lagu-lagu dari Sheila on 7, band favorit kami sejak masih pacaran, sambil pandangannya terus tertuju pada jalanan.
***
Sekitar satu setengah jam kemudian kendaraan yang kami sewa ini akhirnya keluar dari jalur utama, dan berbelok memasuki hutan. Papan bertuliskan “Welcome to Baluran. Complete your adventure,” menyambut kedatangan kami di visitor centerTaman Nasional Baluran. Gambar padan rumput dengan latar belakang sebuah gunung serta gambar rusa dan banteng menjadi backgroundpapan tersebut. Patra mematikan mesin kendaraan yang telah ia kemudikan kurang lebih hampir tujuh jam lamanya. Tentu nya ia lelah juga. Keluar dari kendaraan dia merenggangkan otot-ototnya.
“Siap untuk petualangan?” tanya Patra. Tak lupa ia tunjukan senyam lebar khasnya. Senyuman yang dulu membuat aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Lagi-lagi aku hanya memberikan jawaban berupa gerakan mengangakat bahu. Aku ga tahu apa aku siap untuk bertualang. Aku bahkan ga tahu apa aku bakal bisa punya semangat lagi menyambut petualangan apa pun. Rasanya aku hampa. Hati ini terasa kosong sejak beberapa minggu yang lalu. Sejak kunjungan terakhir kami ke sebuah klinik kesuburan.
Patra membiarkan aku sendiri sementara dia melaporkan kedatangan kami ke pos penjagaan. Liburan ini memang Patra yang merencanakannya. Tiba-tiba aja empat hari yang lalu sepulang dari kantor dia mengumumkan kalau dia sudah mengajukan cuti, membeli tiket pesawat menuju Surabaya, dan mengatur rencana ke Baluran, salah satu destinasi yang selalu aku impi-impikan. Aku hanya tinggal packing dan mengikuti langkah dia, gurau Patra saat itu. Aku tahu Patra bermaksud baik. Dia ingin aku kembali ceria lagi dan melupakan masalah kegagalan bayi tabung kami.
Tapi aku sendiri rasanya sulit mau move on dari kesedihan ini. Sepuluh tahun usia pernikahan kami. Dan kami masih belum juga dikaruniai buah hati. Harapan kami bisa berhasil lewat bayi tabung pun ternyata masih harus gagal. Biar gimana pun, sebagai seorang wanita aku merasa cemas. Aku takut suatu saat nanti Patra meninggalkan aku karena persoalan ini.
Sementara Patra mendaftarkan diri di visitor center, aku pun jalan-jalan sendiri di sekitar situ. Aku coba hirup udara segar, barangkali akan melegakan sesak yang ada. Tapi baru beberapa langkah, kaki ku terhenti oleh pemandangan beberapa anak kecil yang tengah bermain. Lagi-lagi aku merasakan sesak di dada ku. Untunglah belum sempat air mata ini jatuh, Patra menghampiri aku. “Yuk, kita lanjut,” ujarnya seraya merangkul ku, kembali ke mobil.
“Kita nanti nginepnya di depan pantai,” Patra menjelaskan rute perjalanan kami. “Pantai Bama nanya. Tapi sebelumnya kita lewatin savana Bekol dulu. Itu loh, padang yang dibilang kaya little Africa yang pernah kamu lihat di TV. Di sekitar situ katanya kita bisa lihat banteng, rusa, merak dan banyak lagi deh. Tapi karena sekarang sudah sore, besok pagi aja ya kita trekking. Sekarang lihat-lihat sebentar aja. Trus kita lanjut ke pantai Bama nya, ke penginapan kita.”
Aku hanya mengganggukan kepala tanda setuju. Mata ku melihat ke sekitar. Yang tampak hanyalah hutan.
“Hehehe iya ini kita masih di hutan. Masih jauh ke Bekol nya. Katanya dari depan 12 km. Dan dari Bekol ke Bama nambah 3 km lagi,” ujar Patra seakan tahun apa yang ada di pikiran ku.
***
Setelah berjalan diantara hutan, akhirnya kami pun berada di savana Bekol. Mau ga mau aku pun mengagumi keindahan alam yang nampak di depan mata ku itu. Sebuah padang rumput berwarna kuning yang sangat luas sekali dengan latar belakang gunung Baluran. Reflek aku mengeluarkan kamera dari dalam tas ku. Tanpa harus menunggu mobil berhenti aku sudah membidik kamera dari jendela mobil.
“Ini yang suka disebut Afrika nya Indonesia. Di belakang sana ada menara pandang, buat mantau satwa. Itu di sekitar padang sana-sana ada rusa, banteng, babi hutan, keliaran bebas,” Patra memberi penjelasan padaku begitu mobil diparkir. Ia pun ikut mengeluarkan kamera nya.
“Kamu tahu banyak ya. Kaya udah pernah ke sini aja,” sahutku.
“Aku kan brosing dulu. Biar bisa jadi guide yang baik buat kamu.”
Kami pun melanjutkan kekhusyuan kami dengan kamera masing-masing. Kami memang sama-sama pecinta fotografi. Diam-diam aku mencuri-curi pandangan ke arah Patra. Aku benar-benar bersyukur Patra menjadi suami ku. Banyak sekali dukungannya padaku dalam usaha memiliki anak ini. Dia ga pernah menuntut apa pun. Bahkan dia ga pernah menunjukan kesedihannya di depan ku. Padahal aku tahu, dia pun pasti merasa sedih. Merasa kehilangan.
“Lanjut lagi yuk,” ujar Patra membuyarkan lamunan ku. “Kameranya jangan dimasukin ke tas, biar aja stand by. Siapa tahu nemu objek foto bagus.”
Dan benar saja. Sepanjang perjalanan dari Bekol menuju pantai Bama aku sempat melihat sekawanan rusa dari kejauhan. Juga monyet-monyet di sisi jalan.
***
Tiba di pantai Bama, lagi-lagi Patra melapor di pos penjagaan. Petugas di sana mengantarkan kami pada penginapan kami malam ini. Sebuah penginapan sedeharna di dalam hutan di tepi pantai. Dan karena ga waktu liburan, jadi malam ini hanya ada kami, para penjaga hutan, dan aneka satwa liar.
Selagi Patra menurunkan barang bawaan kami, aku pun melihat-lihat keadaan sekitar. Tampak monyet di sana sini. Aku pun lebih berhati-hati terhadap barang bawaan.
Sebentar lagi senja akan segera tiba. Aku paling suka menikmati sunset di pantai. Aku memilih duduk di sebuah batang pohon, menatap lautan lepas. Sesekali ku bidikan kamera. Rasanya damai.
“Nah gitu dong, bisa senyum lagi.” Tahu-tahu Patra sudah berada di samping aku. “Aku kangen liat senyuman kamu, Fit.”
“Aku kan lagi sedih. Masa iya harus dipaksain senyum.”
“Mau sampai kapan kamu sedih terus? Kita harus bangkit, Fit. Jangan tenggelam dalam kesedihan terus menerus. Lihat sekitar kita, masih banyak hal-hal indah yang patut kita syukuri. Kita nikmati.”
“Aku takut kalau kita bakalan terus ga bisa punya anak. Nanti kamu gimana kalau ga punya keturunan?”
“Fit, buat aku yang penting ada kamu. Berusaha memang harus. Tapi biarkan Allah yang menentukan hasilnya.” Patra memeluk ku erat. Air mata ku pun jatuh tak terbendung lagi.
“Janji jangan pernah tinggalin aku apa pun yang akan terjadi besok-besok.”
“Aku janji ga akan pernah ninggalin kami, Sayang.”
Matahari tenggelam. Rasanya itu sunset yang paling cantik yang pernah aku lihat. Sekali lagi kami mengukir janji untuk setia.
***
Matahari perlahan muncul kembali keesokan harinya. Pagi itu aku lewati hari dengan trekking berdua saja. Sayang yang kami temui hanya sebatas monyet dan ayam hutan. Kami gagal bertemu banteng dan rusa. Apalagi melihat merak kawin.
Seusai sarapan, saatnya untuk kembali ke Surabaya. Patra menggenggam tangan ku. “Kamu ga pa-pa, Sayang? Udah siap untuk bangkit?”
Aku melontarkan senyuman. “Berat memang, tapi aku bakal berusaha bangkit. Untuk kamu, demi kita.”
Di perjalanan menuju Bekol tiba-tiba Patra berteriak kegirangan. “Lihat itu, kupu-kupu banyak banget!”
Ku layangkan pandangan ke arah yang ditunjuk sama Patra. Tampak sekumpulan kupu-kupu terbang rendah di jalan. Belum pernah aku melihat kupu-kupu sebanyak itu. Cantik sekali.
“Kupu-kupu itu labah harapan loh. Anggap aja ini pertanda kita masih punya harapan untuk punya anak.”
Patra mungkin benar. Aku masih punya harapan untuk punya anak. Tapi kalau pun mungkin takdir berkata lain, aku tetap punya harapan untuk bersama Patra. We have each other. And I think it’s enough.
“Terimakasih udah membawa aku ke tempat yang indah ini. I love you…“
***Note: Sebelumnya di posting di blog Colorful Traveler
Weleh-weleh, ini blogpost lama Yoh, baru keliatan di Twitter mbak