Mengenal Puisi Lebih Akrab di GWRF 2019

bismillahirrahmanirrahim,

Ketika ditanya dimana aku ketika mati listrik tempo hari, jawabnya adalah di Perpustakaan Nasional. Iya, alhamdulillah sampai sore hari aku enggak merasakan mati listrik. Acara berjalan normal, meski lewat media sosial, aku tahu apa yang sedang terjadi di luar gedung.

Kebingungan baru terasa justru ketika acara berakhir. Susah mencari kendaraan pulang. Tapi soal bagaimana aku akhirnya pulang, tak usahlah aku ceritakan di sini. Karena aku masih ingin melanjutkan Gramedia Writers and Readers Forum 2019 hari ketiga, yang merupakan hari terakhir.

Antara Puisi dan Prosa – Sapardi Djoko Damono, Yudhistira Massardi

Let meet the master! Meski sudah sepuh, tapi dua sosok ini enggak kalah sama Fiersa Besari fansnya. Terbukti dari sebelum acara dimulai, antrian untuk minta foto bareng sudah mengular cukup panjang. Dari hari pertama aku hadir di GWRF 2019, rasanya panel ini yang auranya terasa magis. Terbukti, meski badan aku mulai terasa kurang fit, aku tetap enggak rela untuk datang terlambat pagi itu.

Antara Puisi dan Prosa. Sebagaimana tema kelas ini lebih banyak membahas seputar lebih enak mana sih menulis puisi dan prosa. Karena baik Pak Sapardi dan Pak Yudhistira keduanya adalah penulis puisi dan prosa. Mereka berdua sepakat lebih enak menulis puisi karena prosa membutuhkan waktu dan proses lebih panjang.

Pak Yudhistira bahkan bercerita beliau sempat mengalami kesulitan untuk membuat novel. Beliau berencana ingin membuat novel baru lagi. Tapi sampai beberapa tahun, yang mengalir ya puisi lagi dan puisi lagi. Dengan gaya bercanda beliau pun berkata: “Saya sampai bilang sama kepala saya, ini mau nulis novel dulu, sudah dong puisinya.”

Sementara soal inspirasi, baik Pak Sapardi dan Pak Yudhistira sepakat bahwa sekarang ini mencari inspirasi itu mudah. “Sudah ada teknologi yang membantu, curi saja idenya, kemudian tiru,” canda Pak Sapardi sambil mengenang masa lalunya yang mencari inspirasi dengan mengguting majalah atau pun koran.

Tehnik penulisan juga tak jadi masalah. Mulai saja dengan satu huruf, itu adalah kunci dalam menulis. Karena dengan terus menulis maka ada proses. Menulis itu tidak sulit, tapi juga tudak pernah menjadi lebih mudah.

Berteman Lewat Cerita – Rintik Sedu

Ini adalah kali pertama aku tahu soal penulis muda yang cantik dengan nama pena Rintik Sedu. Nadhifa Allya Tsana, begitu nama lengkap penulis yang masih mahasiswi di Politeknik Kesehatan Jakarta II jurusan Teknik Elektromedik

Perjalanan Tsana menjadi penulis seperti sekarang berawal dari hobinya penulis puisi. Dulu Tsana ingin puisinya tertempel di mading sekolah, tapi justru enggak pernah tayang-tayang. Ini sempat membuat dia enggak percaya diri dengan karyanya lho. Tapi untung ada temannya yang mengetahui karya Tsana ini dan menganggap karya Tsana keren.

Tsana mulai mencoba memajang karya puisinya di blog dan instagram. Tapi lagi-lagi dia menerima protes dari teman-temannya yang menganggap Tsana terlalu galau. Berangkat dari sanalah akhirnya dia pun membuat akun khusus untuk karyanya dengan nama Rintu Sedu.

Yang menarik dari sosok Tsana adalah bagaimana ia terasa begitu akrab dengan pembacanya. Bahkan kalau ditanya darimana ide-ide cerita dan puisi dia berasal, tak jarang itu semua dari curhatan pembacanya.

Bagi Tsana pembaca adalah teman. Dan menurut dia, ide itu bisa darimana saja kok. Tinggal pasang mata, pasang telinga, pasti bisa menemukan ide cerita.

A Poem That Will Speak to Your Soul – Aan Mansyur, Adimas Immanuel

Lekaki Terkahir yang Menangis di Bumi adalah salah satu buku kesukaan aku. Aku sendiri enggak tahu kenapa, tapi setiap kali tamat membaca buku itu, aku bisa mendadak semangat menulis. Lebay? Entahlah. Karenanya sebagai penutup aku memilih mengikuti kelas Aan Mansyur dan Adimas Immanuel, A Poem That Speak to Your Soul.

Puisi sering kali dikaitkan dengan hal yang rumit dan berat, terutama bila maknanya tersirat. Aku ingat ketika sekolah dulu, rasanya kepala sampai ngebul memahami makna puisi di mata pelajaran Sastra Indonesia. Iya, aku yang kebetulan memilih jurusan bahasa di kelas 3 SMA, mau tak mau harus akrab dengan yang namanya karya sastra.

Menurut Aan, puisi bukan arena main teka-teki, tapi justru memberi cara pandang, membuat jadi manusiawi. Ada kalanya menulis puisi dimulai dengan kebingungan pada diri sendiri. Puisi bukanlah hasil akhir, puisi merupakan medium untuk menceritakan diri, mengingat sesuatu, dan menyampaikan sesuatu.

Kalau menurut Adimas, bukan dia yang jatuh cinta pada puisi, tapi justru puisi yang jatuh cinta pada dirinya. Puisi adalah wadah untuk mengekspresikan diri.

Tak terasa satu jam tiga puluh menit sudah berada di satu ruangan yang sama dengan Adimas dan Aan. Kalau ditanya kaya apa rasanya, aku ingin berkata jujur: gado-gado. Aan yang terasa kaku, tapi justru ditimpali dengan Adismas yang lebih luwes dalam berinteraksi. Merekalah yang menutup keseruan aku di Gramedia Writers and Readers Forum 2019.

Apakah aku sudah siap untuk kembali menulis? Apakah aku akan mulai menerapkan ilmu-ilmu yang sudah aku dapatakan? Well, semoga saja.

1 Comment

Add Yours →

Leave a Reply