Bismillahirohmanirohim,
Senin dini hari sekitar jam 2 aku terbangun oleh suara yang entah apa. Aku tahu sumbernya dari telepon genggam yang aku taruh tak jauh dari posisi kepalaku ketika tidur. Tapi bunyi dari apanya aku kurang yakin. Bukan bunyi alarm. Bukan juga bunyi nada dering teleponku. Yang aku tahu sesuatu yang bunyi pada dini hari seringnya bukan berita baik.
Rupanya bunyi itu berasal dari BBM call. Aku melihat nama adik iparku tertera di sana. “Nenek…” bisikku dalam hati. Reflek aku membangunkan Mas Met, memberi tahu kalau Ria, mencoba menghubungi kami. Reaksi Mas Met tak beda jauh dari aku, “Pasti nenekku,” hanya itu kalimat yang diucapkannya.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada Allah jualah kami kembali.
8 Mei 2017. Nenek dari Mas Met telah kembali pada Sang Pencipta di usia sekitar 80-an. Pada hari yang sama juga Mamih, panggilan aku untuk nenek dari pihak ibuku, justru bertambah usia menjadi 93. Kehidupan memang selalu menjadi misteri milik Sang Pencipta yang tak akan pernah kita tahu apa yang akan menanti kita.
Di film-film aku suka melihat adegan ketika menjelang ajal, aneka kenangan bermain dalam bayangan. Hal itu ternyata bukan hanya dirasakan ketika ajal akan menjemput, tapi juga dirasakan oleh orang-orang yang ditinggalkan. Setelah menerima berita duka tersebut, kenangan-kenangan akan nenek pun mulai bermain dalam benakku.
Draft tulisan ini sudah lebih dari 2 bulan bertengger di dashboard DIANRAVI.COM. Air mata bercucuran setiap kali mencoba menulis tulisan ini selalu menjadi alasan klise aku urung menyelesaikan tulisan ini, apalagi sampai menekan tombol pulish. Di hari ke 10 One Day One Post yang tengah aku ikuti bersama Blogger Muslimah Indonesia aku ingin mencoba menantang diriku untuk menyelesaikan tulisan ini. Aku ingin menuangkan kenangan tentang nenek lewat tulisan.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian
-Pramoedya Ananta Toer
Meski nenek sudah tidak ada lagi di dunia ini, aku ingin nenek abadi lewat tulisanku di dunia maya ini.
Tentang Nenek
Pertemuan pertama kali aku dengan nenek adalah ketika tidak sengaja aku dibawa Mas Met pulang ke Bondowoso. Eh kok enggak sengaja? Iya, benar-benar enggak ada rencana untuk ke Bondowoso. Waktu itu aku ikut Mas Met yang sedang kerja di Surabaya. Dia kerja, aku sih main ya. Saat siap kembali ke ibukota, Mas Met menerima kabar kalau pamannya meninggal dunia. Tanpa pikir dua kali, Mas Met pun langsung membawa aku ke rumahnya. Tak banyak kenangan aku akan hari itu. Karena semuanya serba singkat. Aku tiba larut malam, dan esok siangnya sudah meluncur kembali ke Surabaya untuk mengejar kereta ke Jakarta.
Aku baru mulai mengenal sosok wanita separuh baya ini di bulan Agustus 2003. Hari lamaran aku. Nenek tampil sebagai juru bicara mewakili keluarga Mas Met. Aku kagum melihat bagaimana nenek berbicara bahasa Indonesia dengan baik. Bukan bermaksud merendahkan, tapi Mamih, nenekku dari mamaku saja sampai saat ini masih lebih sering menggunakan bahasa sunda daripada bahasa Indonesia, padahal beliau tinggal di Bandung dan aktif di bekerja di hotel.
Lewat cerita Mas Met, aku tahu, kalau ternyata almarhun kakek adalah seorang polisi. Nenek aktif di dharma wanita. Tak heran kalau ia bisa tampil dengan luwes dan berbicara lugas.
Setiap libur lebaran aku kembali mengenal sosok nenek lebih jauh lagi. Aku tahu kalau nenek adalah pekerja keras yang tipenya enggak bisa diam. Terlihat ketika nenek mulai sakit-sakitan, dan ibu membayar seseorang untuk bantu-bantu di rumah, nenek ngambek. Nenek merasa tugas masak yang biasa ia kerjakan diambil alih. Jadi meski ada yang membantu, nenek pun tetap turun tangan memasak dan membuatkan kopi untuk aku, bila ibu tak sempat membuat kopi untuk aku di pagi hari.
Selain pekerja keras, nenek juga rajin silaturahmi. Meski sudah sulit melangkah, nenek merasa tetap harus hadir di setiap kegiatan arisan dan pengajian. Bukan cuma itu, ketika mendengar ada yang meninggal, nenek akan ribut minta ditemani takziah. Sampai setahun yang lalu, ibu masih sering bercerita padaku soal bagaimana nenek masih minta diantar ngelayat. Padahal saat itu kondisi nenek sudah semakin kesulitan untuk berjalan.
Yang paling aku kagumi dari nenek adalah iman Islamnya. Nenek tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu juga shalat malam hingga akhir hayatnya. Setiap shalatnya 2 tahun terakhir ini sudah harus ditemani karena mulai suka lupa-lupa. Tapi itu enggak jadi halangan buat nenek untuk tetap mengabsen pada Yang Maha Pencipta. Aku berdoa, semoga aku pun bisa seperti nenek.
Kenangan yang paling melekat dalam ingatan aku tentang nenek adalah ketika beberapa tahun lalu nenek ikut berkunjung ke Jakarta dengan kereta api. Aku dan Mas Met menjemput di stasiun Gambir. Saat melihat rombongan keluarga Mas Met keluar dari pintu gerbang, kami pun segera menyambut. Tapi tiba-tiba langkahku terhenti ketika ibu tahu-tahu bertanya sama Mas Met, “Dian mana, Met? Enggak ikut?” Aku nyengir. Aku lupa kalau sosok aku saat itu terlah bertambah berat 10 kg akibat obat hormon. Belum sempat menyapa ibu, nenek lebih dulu teriak, “Itu Dian! Itu kan senyumnya Dian.”
Ah, lagi-lagi air mata aku mulai menggenangi pelupuk mata. Dari pada aku gagal menyelesaikan tulisan ini, lebih baik aku tutup saja. Sepertinya aku sudah cukup menceritakan seperti sosok nenek.
Selamat jalan, Nenek. Terima kasih sudah mengajarkan aku untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.
#BloggerMuslimahIndonesia #ODOP #Day10
5 Comments
Add Yours →Memang sangat berat rasanya ketika ditinggal orang yang sangat kita cintai. Yang hanya bisa dilakukan adlah belajar ikhlas dan tetap mendoakan buat yang terbaik.
Hebat ya mbak. Nenek masih berusaha mandiri. Semoga beliau mendapat tempat yang lebih baik di sana. Salam kenal 🙂
Semoga Allah merahmati nenek kakak.. 🙂
Jadi keinget mbahku mbak, pas beliau meninggal aku gak bisa mudik ke Pacitan 🙁
Padahal dia nenekku yg paling kusayang 🙁
Mbah-mbahku juga mirip nenek, paling nggak bisa kerjaan dometik diambil alih orang laij. Pokoknya harus dikerjakan mbah sendiri. Padahal cucunya ketar-ketir nggak
Tega.
Fatikhah untuk nenek.