Ada Nilai Loyalitas dalam Batik Bu Sutra

1455863062479

“Kita ke rumah batik satu lagi ya, Mba,” sahut mas Pop dari LasemHerritage yang hari itu menjadi tour guide aku dan Mas Met menjelajah kota Lasem.

Aku mengangguk saja. Ini akan jadi persinggahan rumah batik ke tiga kami di Lasem. Jam yang tertera di telepon genggam ku baru menunjukan pukul sebelas kurang. Padahal selain rumah batik kami sudah  mengunjungi beberapa tempat lainnya. Wow, waktu berasa jalan lambat di kota Lasem. Kalau di Jakarta mungkin untuk pergi ke satu tempat saja akan memakan waktu paling tidak satu-dua jam perjalanan.

Kali ini Mas Pop membawa kami menyusuri desa Karangturi. Tembok-tembok putih dengan pintu besar aneka warna kembali memanjakan mataku. Motor kami berhenti di salah satu rumah tersebut. Mas Pop memberi kode agar Mas Met memarkirkan motor sewaan kami ke dalam. Sambil menanti Mas Met selesai parkir, aku pun mengamati sekeliling halaman.

Batik Lasem, Bu Sutra

Rumah Batik Bu Sutra ini ga jauh berbeda dengan rumah batik Sekar Kencana milik Pak Sigit yang sebelumnya aku kunjungi. Terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah. Mungkin yang membedakan hanyalah warna kayu. Bila sebelumnya di rumah Pak Sigit, pintu, kusen, dan dinding panel kayu didominasi warna coklat dan kuning, di rumah Bu Sutra yang tampak semuanya adalah hijau toska. Tapi hampir semua layout rumah-nya sama. Ada bagian depan untuk menerima tamu, dapur dan tempat batik berada di paling belakang. Lagi-lagi aku bisa merasakan gambaran rumah batik yang diceritakan oleh Arswendo Atmowiloto dalam novel yang berjudul Canting.

Satu lagi yang membedakan rumah Bu Sutra dengan Pak Sigit. Ketika singgah di rumah Pak Sigit, di bagian ruang depan tampak banyak sekali pigura menghiasi dinding. Bahkan Pak Sigit tak segan-segan menunjukan gambar-gambar pada pigura itu. Ada foto keluarga sampai kliping-kliping koran yang memuat tulisan soal dirinya. Sementara di rumah bu Sutra hanya tampak beberapa pigura yang sepertinya adalah foto lama semua.

Batik Lasem, Bu Sutra

Batik Lasem, Bu Sutra

“Batik disini ga ada merk-nya loh, mba. Ga kaya rumah-rumah batik lain,” mas Pop memberi penjelasan padaku seraya kami berjalan ke bagian belakang rumah tempat batik-batik ini dibuat.

“Loh, Bu Sutra itu bukan nama dagangnya ya?”

“Bukan, mba. Bu Sutra itu yang punya. Dulunya dia buruh batik di sini. Tapi kemudian diwariskan sama yang punya rumah untuk urus bisnis batik ini. Saya sudah usulkan pakai merk Bu Sutra aja. Tapi ibu nya ga mau. Malu katanya, mba.”

“Kenapa malu, mas?”

“Bu Sutra itu emang pemalu, mba Dian. Dulu awal-awal saya bawa rombongan ke sini bahasa tubuhnya itu kelihatan banget kalau ga nyaman. Ga biasa nerima tamu. Kalau sekarang sih wah udah lenje. Bisa canda-canda sama tamu. Nanti mba liat sendiri deh.”

Mas Pop menghentikan langkahnya dan menghampiri seseorang yang aku duga mungkin salah satu karyawan di rumah Bu Sutra ini. Mas Pop menanyakan keberadaan Bu Sutra. Tapi nampaknya yang punya rumah sedang tidak di tempat. Mungkin aku sedang tidak beruntung kali ini.

“Bu Sutra nya sedang keluar, mba. Semoga ga lama ya. Dulu itu pernah loh saya bawa rombongan agak banyak. Padahal udah janjian sama bu Sutra, eh sampai sini beliau nya ga ada. Ditunggu beberapa lama, akhirnya beliau datang pakai sepeda. Ternyata dari pasar,” mas Pop melanjutkan bercerita.

Ah aku jadi semakin penasaran ingin bertemu dengan sosok bu Sutra. Semoga aku masih berjodoh bisa bertemu dengan beliau.

Batik Lasem, Bu Sutra

Batik Lasem, Bu Sutra

Aku tiba di tempat dimana para pengrajin bu Sutra sedang membatik. Yang pertama memikat mataku adalah sebuah tembok yang aku duga semula berwarna putih kini tampak berlumut dan di beberapa titik tampak catnya sudah mengelupas dan menampakan jejeran batu bata. Mungkin termakan usia, mungkin juga akibat terkena api kompor saat malam dilelehkan guna membuat batik.

“Silahkan mba dilihat-lihat batiknya. Ga beli juga ga pa-pa kok. Disini cuma ada motif lawasan tapinya. Jumlahnya juga ga pernah banyak. Pernah dulu saya bawa rombongan besar, mereka sampai rebutan loh, mba.” 

Lasem dan batik merupakan dua hal yang sepertinya susah dilepaskan. Konon batik Lasem sudah ada sejak beberapa abad. Bahkan batik 3 negeri yang begitu terkenal merupakan paduan batik Pekalongan, Lasem, dan Solo. Bayangkan selembar kain batik pewarnaannya harus dilakukan di 3 wilayah yang berbeda. Warna merah didapatkan dari Lasem, biru dari Pekalongan, dan warna coklat dan sogan dari Solo. Salah satu kekhasan dari batik Lasem memang pada warna merah. Hal ini dikarenakan pengaruh etnik Tionghoa yang kuat di daerah Lasem dan juga karena kandungan mineral yang menjadikan warna merahnya berbeda dengan daerah lain.

Aku melihat-lihat beberapa lembar batik yang ditunjukan oleh mas Pop. Sebenarnya aku berminat mengoleksi selembar kain batik dari Lasem lagi. Tapi berhubung sebelumnya aku sudah membeli 2 lembar batik Lasem, kali ini aku terpaksa menahan diri untuk tidak membeli.  Lagipula motif gunung ringgit yang menjadi incaran aku sedang tidak ada. 

Batik Lasem, Bu Sutra

Batik Lasem, Bu Sutra

Mas Pop melanjutkan tour dengan menunjukan beberapa bagian lain dari rumah bu Sutra. Ada dapur juga tempat dimana para pembatik berganti pakaian. Rupanya pakaian yang mereka gunakan saat sedang membatik tidak sama dengan pakaian yang mereka kenakan saat dari rumah. Mereka berdandan rapih menuju rumah Bu Sutra. Dan kemudian berganti pakaian dengan yang lebih santai untuk bekerja.

Sebelum pamit pulang, aku sempat bertanya pada ibu-ibu pengarjin batik ini, sudah berapa lama mereka bekerja pada bu Sutra. Tahu jawabannya? Mereka pun bingung. Ga ada yang ingat sudah berapa lama mereka bekerja sebagai pembatik. Malah salah satu dari mereka ada yang nyeletuk pada temannya, “Anak mu yang besar itu udah umur berapa? Kalau ga salah saya mulai batik ya pas anak kamu itu mau setaun.” Yang kemudian disahut lagi sama rekannya, “Bukan. Udah lebih lama lagi. Wong waktu hamilnya sudah ngebatik kok.” Akhirnya pertanyaan aku pun tak terjawab.

Rupanya kata setia bukan hanya pada bu Sutra yang menerima warisan usaha batik dan melanjutkannya. Tapi juga pada karyawan-karyawannya. Mereka bekerja tanpa mengenal jenuh untuk terus melestarikan batik Lasem. 

Matahari semakin tinggi. Saatnya bagi kami untuk melanjutkan kunjungan ke tempat berikutnya. “Kemana kita, mas Pop?”

Salam batik Lasem,

dianravi

About The Author


dianravi

Dian Safitri, travel and lifestyle blogger muslimah yang berdomisili di Jakarta, Indonesia. Pecinta kopi dan makanan. IVF Surviver.

5 Comments

  1. Aku td antusias bacanya krn mengenai batik krn aku ada bisnis offline jual batik. Tp ceritanya memang mengenai rumah batik ya bukan mengenai batiknya. Klo bisa share mengenai batiknya, ya. Misal batik jenis ini, harganya segini, mesannya ke alamat ini etc…

  2. saya pernah praktek buat batik waktu SMA prosesnya lama, tapi ketika dijual hanya laku segitu-gitu saja. seharusnya lebih menghargai pembuat atau pengrajin batiknya. emang batik mengandung loyalitas, buatnya aja lama.. kan sama aja loyal. 🙂

Leave a Comment