jakarta walking tour city 1

Walking Tour Mengisi Liburan dengan Berjalan Kaki Menyusuri Ibukota

Bismillahirohmanirohim,

Aku berjalan santai menyusuri jalan Merdeka Barat. Suasana ibukota cukup ramah pagi ini. Kendaraan yang lalu lalang masih tampak cukup banyak, tapi tidak sepadat biasanya. Mungkin karena tidak sedikit warga ibukota yang sudah memulai mengambil jatah libur akhir tahunnya. Hari Natal memang masih 5 hari lagi, tapi anak-anak sekolah sudah memasuki liburan semesteran.

Langkahku melambat ketika aku mulai mendekati Museum Nasional. Aku merogoh saku gamisku, mengeluarkan benda pertama yang selalu aku ambil setiap bangu pagi: telepon genggam. Aku lihat jam yang tertera pada layar, masih 20 menit lagi dari jadwal janjiku pagi itu. Alih-alih memasuki area pekarangan museum yang menjadi titik pertemuan, aku memilih duduk di halte menatap kendaraan yang lalu lalang.

Beberapa pedagang asongan mulai sibuk menjajakan dangangannya. Rata-rata mereka menawarkan minuman. Seserorang di antara mereka menghampiriku, dengan logat Madura yang cukup familier di telingaku, satu persatu memyebut aneka merk minuman yang ia jual. Dengan senyuman aku berusaha menolaknya sesopan mungkin. Tapi tetap saja ia pergi meninggalkan aku dengan gerutu.

“Mas, saya sudah di depan Museum Nasional ya,” pesan itu aku tujukan pada Chanda, yang  menjadi koordinator Jakarta Good Guide yang akan aku ikuti hari itu. Aku tak memperlukan balasan apa pun untuk pesan singkat itu. Toh aku tahu, siapa pun yang akan menjadi tour guide hari itu, pasti akan datang saat menjelang jam 9 pagi, sebagaimana jadwal acara hari ini.

Jakarta. Ibukota Indonesia ini selalu identik dengan kemacetannya. Wisata yang dikenal pun lebih banyak pusat berbelanjaannya. Padahal kota yang dulunya bernama Batavia ini tak kalah menyimpan potensi wisata. Seperti yang tengah aku lakukan pagi ini. Di saat kebanyakan teman-temanku memilih berlibur ke luar kota, aku memilih untuk mendaftarkan diri dalam sebuah tur jalan kaki menyusuri daerah pusat kota yang diadakan oleh Jakarta Good Guide.

Aku mengenal Jakarta Good Guide ini lewat akun media sosial mereka sejak beberapa tahun lalu. Tak ingat kapan persisnya. Mungkin saat mereka memulai walking tour Jakarta pada 2014. Mengusung konsep pay as wish, Jakarta Good Guide menawarkan tur berjalan kaki di ibukota dengan beberapa rute pilihan.

City Center 1 menjadi rute yang akan aku ikuti pagi ini. Museum Nasional menjadi titik pertemuan awal rute dimulai. Aku mengedarkan pandangan pada sekitar. Saat itulah aku melihat seseorang yang berjalan menuju arahku. Dari pakaian yang dikenanakannya, sebuah kaos berwarna biru bertuliskan Join Our Walking Tour, aku langsung mengambil kesimpulan pasti ia yang akan menjadi pemandu aku hari ini.

Sontak aku pun berdiri menghampirinya. Farid, begitu ia memperkenalkan dirinya. Kami pun memasukin pelataran Museum Nasional bersama. Tak jauh dari Patung Gajah yang menjadi rasa salah satu ikon dari museum ini beberapa peserta tur lainnya pun telah menanti. Total ada delapan orang termasuk aku. Seorang ibu dengan anaknya, kakak yang sedang dikunjungi kedua adiknya dari pulau Sumatera, serta dua orang asing asal Perancis dan Canada.

Acara tur yang aku ikuti ini tidak masuk ke dalam museum. Sesuai dengan namanya, kami hanya akan berjalan kaki sambil menyimak penjelasan tentang beberapa bangunan yang akan kami lewati. Rute City Tour 1 yang aku ikuti akan dimulai dari Museum Nasional dan berakhir di Katedral.

Patung Gajah yang berada di halaman depan Museum Nasional merupakan hadiah dari Raja Chulalongkorn, raja Thailand pada tahun 1871. Aku ingat ketika masih berseragam merah putih, pertama kalinya aku mengunjungi museum ini bersama teman-teman satu angkatan, salah seorang guruku mengatakan bahwa museum ini juga disebut Museum Gajah. Begitu juga yang dijelaskan oleh Mas Farid pagi itu, “Patung Gajah tersebut menjadi ikon dari Museum Nasional selama bertahun-tahun. Tak jarang orang lebih mengenalnya sebagai Museum Gajah daripada Museum Nasional.”

Kami bergeser pada sisi halaman Museum Nasional yang lain. Sebuah patung yang sepertinya menyerupai pusaran air berada di sisi itu. Ku Yakin Sampai di Sana. Begitu tulisan yang terukir tak jauh dari patung itu. Ukurannya yang besar menyita perhatian siapa pun yang tengah berada di halaman itu.

“Ini adalah ikon dari Museum Nasional yang baru,” jelas Mas Farid.

Kami dibawa keluar dari Museum Nasional. Sekali lagi kakiku melangkah menyusuri trotoar di jalan Merdeka Barat. Hanya saja kali ini aku mengarah ke arah istana, berlawanan dari ketika aku datang tadi pagi.

Mas Farid menhentikan langkahnya di depan Mahkamah Konstitusi. Bangunan megah bergaya romawi kuno ini terbilang baru berada di ibukota. “Untuk bangunan bergaya klasik, biasanya jumlah pilarnya genap,” Mas Farid menjelaskan sedikit mengenai bangunan ini. “Tapi Mahkamah Konstitusi ini pilarnya tetap berjumlah 9. Alasannya karena menggambarkan jumlah hakim konstitusi, sembilan.”

Dari Mahkamah Konstitusi, kami meyeberang menuju Monas. Aku termasuk salah satu yang senang bermain ke Taman Monas. Tapi ini adalah pertama kalinya aku menjejakan kaki di sisi seberang istana. Tempat ini lebih sering digunakan sebagai tempat demonstrasi. Taman Pandang Istana, begitu nama untuk tempat ini. Yang menarik, ada sebuah tulisan 3 dimensi di taman ini. INSAN begitu tulisan ini akan terbaca bila kita melihatnya dari sisi Merdeka Barat. Namun bila kita berada di dalam taman, maka yang terbaca adalah RAGAM.

Kami tidak masuk jauh ke dalam silang Monas. Kami hanya melihat Monas dari kejauhan. Mas Farid pun mulai menjelaskan bagaimana Soekarno dulu menggagaskan ide MONAS ini. Lingga dan Yoni merupakan wujud tugu Monas yang ada sampai sekarang ini. Dulu, Soekarno pernah berharap, kota Jakarta akan menjadi subur. Sepertinya harapan itu telah terwujud. Lihat betapa padatnya pemukiman dan jalanan ibukota saat ini.

Merdeka Palace alias Istana Merdeka menjadi perhatian kami berikutnya. Istana ini merupakan salah satu dari enam istana kepresidanan yang ada di Indonesia. Istana ini menjadi kediaman presiden. Meski begitu, Pak Jokowi saat ini lebih memilih tinggal di istana Bogor.

Perjalanan dilanjutkan ke Mahkamah Agung dan Markas Besar TNI. Mas Farid langsung mengingatkan kami agar tidak mengambil foto di sekitar Markas Besar TNI. Setelah melewati Markas Besar TNI, kami pun berbelok ke jalan Veteran sebelum akhirnya mampir ke sebuah toko es krim yang legendaris.

Ragusa Es Italia. Begitu papan yang terpampang pada sebuah bangunan tua. Bangunan itu tampak sederhana. Didominasi warna putih dan sedikit biru dan merah pada bagian luar. Di dalam tampak bangku-bangku yang terbuat dari rotan berjejer rapih seolah mempersilakan kami untuk duduk santai sejenak. Es krim ini sudah ada sejak 1932. Mas Farid mempersilakan kami untuk beristirahat sambil memanjakan rasa dahaga kami.

“Tinggal dua tempat lagi,” Mas Farid menyemangati kami. Rupanya ia melihat beberapa dari kami, termasuk aku mulai sedikit dilanda lelah. “Makanya kami selalu mulai jam 9 pagi. Karena jika lebih siang lagi, maka matahari akan lebih terik.”

Dua tempat terakhir yang menjadi agenda tur hari ini adalah Masjid Istiqlal dan Gereja Katredal. Dua tempat ibadah ini berseberangan lokasinya. Seolah ingin mengingatkan bahwa perbedaan yang ada tak pernah menjadi masalah sejak dahulu.

Aku pernah menjejakan kakiku di Istiqlal. Satu kali ketika aku masih kanak-kanak. Jangan tanya apakah aku masih ingat. Aku hanya tahu lewat foto-foto di dalam album semasa kecilku saja. Anggap saja ini menjadi pertama kalinya aku memasuki masjid terbesar di Asia Tenggara.

Bentuk arsitektur masjid ini bergaya Islam modern dengan menerapkan bentuk-bentik geometri yang sederhana. Aku menikmati sekali ketika berjalan menyusuri koridor Masjid Istiqlal. Sayup-sayup aku bisa merasakan hembusan angin di antara ornamen-ornamen penyekat yang juga memiliki fungsi sebagai lubang angin.

Mas Farid membawa kami ke sebuah sudut yang menurut dia sekarang ini menjadi sangat populer. Tak salah bila tempat ini populer untuk berfoto memang. Dari sudut ini, kita bisa melihat kubah masjid sekagus Gereja Katedral. Menarik, begitu aku menyimpulkan akan tempat ini dalam hati.

Jika Masjid Istiqlal bergaya modern, Gereja Katedral justru memiliki arsitektur neo-gotik. Tak heran memang gereja ini memiliki kesan tua, karena bangunan gereja ini sudah diresmikan sejak tahun 1901.

Tak terasa waktu berlalu. Dua jam kurang lebihnya kami berjalan menyusuri pusat kota. Kini saatnya aku mengakhiri liburan singkat dengan berjalan kaki di ibukota.

Jakarta memang terkenal akan macetnya. Liburan di Jakarta masih menjadi sebuah kalimat yang asing terdengar. Padahal bila kita mau melihat sejenak, Jakarta masih bisa dinikmati. Liburan di hutan beton pun tidak selalu harus mengeluarkan uang banyak. Salah satu alternatif menikmati kota Jakarta bisa dilakukan dengan berjalan kaki mengikuti walking tour seperti yang aku ikuti ini.

baca juga: 10 Aktivitas Travelling di Jakarta yang Ramah Dompet

Bagaimana wisata di daerah kalian? Coba ceritakan di kolom komentar ya.

Jakarta Good Guide

Instagram: @jktgoodguide

assalamu alaikum,

dian ravi

DianRavi

About The Author


dianravi

Dian Safitri, travel and lifestyle blogger muslimah yang berdomisili di Jakarta, Indonesia. Pecinta kopi dan makanan. IVF Surviver.

21 Comments

  1. Akhirnya teteh sudah mulai! Ini kedua kalinya aku baca walking tour. Yang pertama punya si jo dengan bersukariawalk untuk walking tour wilayah semarang.

    Aku jadi pingin ikutan teh, yang di jakarta juga nih kece. Membuat pemikiranku soal jakarta yg macet edan g karuan dan panas agak sirna soalnya bisa menikmati jakarta dengan cara lain. Tapi nanti dulu deh, hehehe.. Mau merealisasikan yg solo sama semarang dulu

  2. What? Jalan kaki mba? Interesting. Jadi pengen ikut dan tau lebih dalam tentang jakarta deh.. btw setau ku kalau masuk Masjid Istiqlal pakaian nya harus agak tertutup gitu ya kan mba?

  3. Aku mau..Aku mau.. Walking Tour, biasanya kan cuma lewat2 doank ke tempat di atas sambil dibonceng mamang gojek. Ntr mah wajib menyusuri ya Teh, biar tau juga sejarah2nya.

    Btw pernah denk ke museum itu, pas ada acara srikandi blogger kalo ga salah, cuma ga sempet jalan2 hihii

  4. Wah menarik sekaliii, jadi kepikiran menerapkan ini di Makassar. Sudah mulai padat dan macet juga, dan yg booming saat liburan ya wisata belanja hehehhe

  5. Saya juga pernah mengikuti walking tour yg diselenggarakan oleh JKT Good Guide dengan rute yang sama City Center juga..penjelasan yang diberikan oleh pemandu cukup bisa di terima, yg menjadi masalah waktu itu bulan puasa dan lumayan lelah..atau lebih tepatnya kehausan..hehe
    Salam kenal 🙂

  6. Duh senengnya mbak ikut acara2 kyk gtu.
    Saya bbrp kali ingin ikutan tapi waktunya gak pas mulu. Pdhl pengen banget menjelajah Jkt utamanya kawasan kota tuanya. Ada bbrp komunitas budaya dan sejarah jg yg sesekali ngadain. TFS yaaa

  7. Jalan-jalan di kota dengan beneran jalan kaki emang bawa persepsi beda ya. Kalo aku di Semarang juga menyempatkan ikut walking tour,, meskipun di kota sendiri, tapi banyak wawasan baru yang aku dapat karena jalan kaki ini.

Leave a Comment