potensi zakat dan wakaf

Potensi Zakat dan Wakaf untuk Pengembangan Ekonomi

Bismillahirohmanirohim,

potensi zakat dan wakaf

Ketika kaum Muslimin semakin banyak yang berhijrah ke Madinah, umat Islam mulai kesulitan akan air bersih. Berbeda dengan kondisi ketika di Makkah dimana air begitu berlimpah, di Madinah kebutuhan air hanya mengandalkan sumur.

Sumur terbesar di Madinah milik seorang Yahudi. Ketika umat Islam ingin membelinya, ia menawarkan haraga yang sangat tinggi. Rasulullah menawarkan untuk menggantinya dengan kebun yang luas. Tapi itu pun ditolaknya.

Ustman bin Affan menawarkan pemiliknya sistem sewa. Mekanismenya, antara pemilik dan penyewa menggunakan sumur tersebut bergantian. Sistem sewa ini disetujui oleh pemilik.

Pada hari dimana Ustman bin Affan menggunakan sumur, ia menyerukan pada umat Muslim silakan ambil air untuk dua hari secara gratis. Dengan skema seperti ini, akhirnya si pemilik merasa rugi hingga akhirnya ia menjual sumur tersebut seharga 20.000 dirham.

Ustman bin Affan mewakafkan sumur tersebut untuk kepentingan umat Islam. Wakaf sumur tersebut dijaga dan dikembangkan. Hingga kini rekening atas nama Ustman bin Affan dipegang oleh Kementerian Wakaf.

Kisah tentang rekening Ustman bin Affan sudah beberapa kali aku dengar. Tapi mungkin karena aku mendengarnya sambil lalu, ketika aku mendengar mengenai wakaf produktif di acara Lokalatih Tunas Muda Agent of Change Ekonomi Syariah yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama pada 27 – 29 Maret 2018 ini di Bogor, aku sempat bingung. Rasa-rasanya selama ini yang aku ketahui wakaf itu paling berupa tanah untuk masjid, tanah untuk makam, juga Al-Quran.

Potensi Zakat dan Wakaf untuk Pengembangan Ekonomi

Zakat dan wakaf merupakan dua pilar dalam ekonomi syariah yang sering dianggap hanya sebagai bentuk bantuan sosial. Padahal zakat dan wakaf bisa menjadi kunci potensi pengembangan ekonomi untuk menuntaskan kemiskinan.

Di Indonesia potensi zakat mencapai 217 triliun. Namun, penghimpunan zakat nasional belum mencapai angka yang signifikan. Hanya 5,6 triliiun yang terkumpul oleh lembaga di tahun 2017.  Kurang percayanya pada lembaga menjadi salah satu alasan belum bisa maksimalnya jumlah zakat. Tak sedikit orang-orang yang lebih memilih memberikan zakat langsung kepada yang membutuhkannya.

Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Hukum zakat adalah wajib bagi umat Islam yang telah memenuhi syarat, sebagaimana dikutip dari hadist berikut ini:

Islam dibangun atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada Rabb yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu

(Muttafaqun ‘alaihi)

Zakat itu sendiri bermacam-macam. Mulai dari zakat fitrah, zakat mal, zakat profesi, zakat hasil pertanian, zakat simpanan, serta zakat emas. Selama ini aku sering berpikir bawah mengeluarkan zakat saja sudah cukup. Sudah bisa mengembangkan ekonomi syariah. Apalagi Indonesia merupakan negara yang umat Islamnya lebih dari 80%.

Tapi rupanya aku salah. Karena pada kenyataannya peran-peran zakat adalah:

  • Zakat fitrah adalah agar fakir miskin bergembira merayakan idul fitri.
  • Zakat maal adalah agar fakir miskin bisa bertahan hidup.

Semenatara untuk mensejahterakan dan menunstaskan kemiskinan diperlukan adanya Wakaf. Zakat dan wakaf merupakan pilar ekonomi syariah sekaligus sebagai instrumen ekonomi umat.

Mengembangkan Potensi Wakaf Produktif

Wakaf adalah sedekah jariyah. Harta wakaf tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual dan tidak boleh diwariskan.

Melihat wakaf memiliki peranan yang cukup signifikan bagi pemberdayaan ummat, pemerintah pun mengatur kebijakan tentang wakaf di dalam Undang-Undang Republik Indonesia no 41 tahun tahun 2004. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang tersebut bisa menjadi sebuah momentum dalam pemberdayaan wakaf secara produktif dan tepat sasaran.

Wakaf Ustman bin Affan yang aku ceritakan di awal tadi merupakan salah satu contoh bagaimana wakaf dari sebuah sumur bisa menjadi sebuah manfaat yang begitu besar bagi ummat Islam hingga kini. Dari sebuah sumur yang kemudian berkembang menjadi kebun kurma, hasil dari panen kurmanya dibagi dua, sebagian untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sisanya disimpan dalam sebuah rekening. Tabungan dari rekening itu digunakan untuk membeli tanah dan dibangun hotel berbintang dan Zam Zam Tower.

Di Indonesia,meski belum mencapai pontesial maksimalnya, wakaf produktif pun mulai berkembang. Beberapa lembaga sudah mulai menjalankan program wakaf, seperti yang pernah aku tulis di sini.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bimas Islam membuat komitmen terdahap optimalisasi potensi ekonomi umat melalui pemberdayaan zakat dan wakaf. Peran pemerintah terkait dalam hal ini adalah melakukan pembinaan dan melakukan pengawasan. Sementara untuk penerimaan zakat dan wakaf dilakukan oleh Baznas.

Kenalan sama Direktorat Jenderal Bimas Islam

potensi zakat dan wakaf

Tak kenal maka tak sayang. Begitu pepatah lama yang selalu aku anut sampai hari ini. 3 hari ini aku menghabiskan waktu dengan berada di kota hujan dalam rangka mengikuti Lokalatih Tunas Muda Agent of Change Ekonomi Syariah atas undangan Direktorat Jenderal Bimas Islam dibawah Kementerian Agama. Ijinkan aku memperkenalkan  sedikit dengan Ditjen Bimas Islam dari visi dan misi mereka.

Visi Ditjen Bimas Islam

Terwujudnya masyarakat Islam Indonesia yang taat beragama dan sejahtera lahir batin dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.

Misi Ditjen Bimas Islam

Meningkatkan kualitan bimbingan, layanan keagamaan dan pemberdayaan potensi ekonomi umat Islam Indonesia.

Pentingnya Menjalankan Ekonomi Syariah

Why syariah? Ada dua alasan kenapa menurut aku kita harus menjalankan konsep ekonomi syariah.

Yang pertama, karena sistem ekonomi ini bersumber dari wahyu. Al-Quran dan Al-Hadist. Alasan yang kedua adalah karena ekonomi syariah menguamakan prinsip keadilan. Sehingga bertransaksi dalam sistem syariah akan lebih menenangkan, jelas dan nyaman.

Ada 3 pilar dalam menjalankan ekonomi syariah:

  1. Tidak mengandung unsur riba
  2. Tidak maisir (judi)
  3. Tidak ghoror (tidak jelas)

Jadi, kalau kita sudah mengeluarkan zakat, sekarang adalah saatnya kita berwakaf. Mari kita mulai Ekonomi Syariah dari diri kita. Gimana menurut kalian? Sudah siap?

Jangan lupa untuk baca:

Zakat dan Wakaf Sebagai Life Style? Siapa Takut

Potensi Berkembangnya Umat Islam di Zaman Now Melalui Filantropi Islam

Mendorong Kemajuan Ekonomi Syariah di Era Milenial

About The Author


dianravi

Dian Safitri, travel and lifestyle blogger muslimah yang berdomisili di Jakarta, Indonesia. Pecinta kopi dan makanan. IVF Surviver.

2 Comments

Leave a Comment