Bismillahirohmanirohim,
Beberapa minggu lalu aku mendapat berita musibah salah seorang sepupuku kecelakaan motor. Tangan dan kakinya patah. Usut punya usut ternyata dia ditabrak oleh pengemudi sepeda motor yang masih di bawah umur.
Berita musibah itu membangkitkan kenangan lama. Beberapa tahun yang lalu, aku kehilangan kakek dari papaku akibat hal serupa. Ditabrak pengemudi sepeda motor yang belum punya SIM saat sedang menyeberang seusai shalat Jumat untuk kembali mengajar. Beliau sempat di ICU sekitar 3 hari sebelum akhirnya menutup usia. Apa yang dilakukan oleh si pengemudi? Beliau dan keluarganya hanya bisa meminta permohonan maaf dan minta untuk tidak dibawa ke kepolisian dengan alasan masih ingin melanjutkan usia.
Beberapa tahun setelah peristiwa itu, lagi-lagi hal serupa terjadi dalam keluarga aku. Menjelang akhir tahun 2013. Saat itu, aku dan Mas Met, juga sepupu serta suami dan anaknya, sedang berkeliling menyusuri pantai Pelabuhan Ratu hingga pantai selatan Banten. Hari itu adalah hari terakhir kami, hari terakhir di penghujung 2013. Tanjung Lesung menjadi pilihan pantai terakhir kami. Hari masih pagi dan hujan turun membasahi bumi. Kami tengah menikmati sarapan sambil menanti hujan berhenti sebelum bermain ke pantai ketika telepon genggamku berdering.
Adikku menyapa saat aku mengangkat telepon itu. Tapi dia justru menanyakan Mas Met. Aku sempat curiga. Apalagi mengingat tak lama Mas Met pergi menjauh dan berbicara bisik-bisik. Tapi setiap aku tanyakan ada apa, Mas Met malah menyuruh aku menghabiskan sarapanku.
BlackBerry-ku berbunyi. Ada pesan masuk di BBM. Sinyal di penginapan ini memang agak kurang baik rasanya, dari kemarin aku susah untuk berkirim kabar via BBM. Jadi sudah tentu aku menyambut antusias pesan yang masuk ini. Aku intip, pesan di grup keluarga. Aku lihat sepupuku juga sepertinya menerima pesan yang sama. Ada apa ya, pikirku. Apakah ada undangan malam tahun baruan.
Aku seperti tak percaya melihat foto yang dikirimkan di BBM itu. Aku coba perbesar untuk memastikan. Tapi sepertinya pikiranku tidak salah. Astagfirullah, foto itu adalah foto mamaku dengan perban di dahinya.
Tak lama Mas Met selesai berbicara di telepon dan menghampiri aku. Masih belum hilang rasa kagetku, aku pun bertanya padanya, “Mama kecelakaan ya, Yang?” Dia pun mengangguk. Saat itu juga aku bergegas packing. Tanjung Lesung – Jakarta – Bandung langsung menjadi tujuan kami.
Singkat cerita, mamaku ditabrak oleh anak muda yang lagi-lagi harus aku tegaskan, belum memiliki SIM. Dari Nina, adikku, aku tahu kalau mereka kelaparan, dan mama menawarkan diri untuk membeli martabak. Nina bahkan enggak menyadari kalau mama tertabrak. Untung saja banyak warga yang menolong.
Malam tahun baru 2014 aku habiskan di kamar rumah sakit. Pagi-pagi mama sudah ribut minta foto keluarga. Aku cuma bisa tersenyum lega, mungkin ini cara mama mensyukuri masih diberi umur.
Lantas apa yang dilakukan si pengemudi kendaraan bermotor? Lagi-lagi tentu saja hanya bisa meminta maaf. Dia berjanji untuk menjual motornya dan mengganti baiya pengobatan mama. Tapi apa kenyataannya? Dia menghilang begitu saja.
Ramadhan dua tahun yang lalu lagi-lagi hal serupa terjadi. Aku sudah gelisah menanti Mas Met yang belum pulang juga. Dia memang selalu pulang setelah selesai tarawih, daripada harus mengejar buka puasa di rumah dan jadi terjebak macet. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat. Tak biasanya dia belum tiba di rumah.
Menjawab kegelisahaan aku, tak lama Mas Met pulang. Aku terkejut melihat kondisi motornya saat itu. Lampu depan pecah. “Jatuh, Yank?” tanyaku sambil berusaha membantu memarkirkan motor. “Ditabrak bocah tadi,” begitu jawabnya.
Ah lagi-lagi anak-anak yang belum cukup umur dengan kendaraan bermotor. Rupanya ketika Mas Met terjatuh, ada teman anak-anak itu yang membantu mendirikannya motornya. Tapi ketika Mas Met mengambil sepatunya yang terlepas, mereka semua sudah kabur.
Haruskah Cinta Itu Buta?
Dear parents, cobalah mengerti kalau ada alasan kenapa pemerintah baru mengijinkan di usia 17 tahun untuk memiliki SIM. Hal ini dikarenakan usia segitu sudah mulai memiliki tanggung jawab. Jadi tolong jangan biarkan rasa sayang kalian terhadap anak-anak kalian justru membutakan kalian dengan mengijinkan anak-anak yang belum cukup umur membawa kendaraan.
“Ah elo kan belum punya anak, Yan. Makanya elo enggak ngerti soal ini. Apalagi kalau anak laki-laki. Susah, Yan. Nanti elo ngerasain sendiri deh.” Kalimat itu terlontar dari salah seorang sahabat ketika aku mengeluhkan soal ini. Ya, aku memang bukannya tidak sadar menceritakan soal ini kepada sahabat yang aku tahu sekali kalau dia justru salah psatu orangtua yang membiarkan anak-anaknya membawa kendaraan meski belum cukup umur. Aku tahu dengan pasti kalau sahabatku ini memberikan hadiah mobil kepada kedua anaknya ketika berulang tahun ke-16.
Aku mungkin bukanlah seorang ibu. Tapi kalau pun aku diberi kesempatan untuk menjadi seorang ibu, insya Allah aku tidak akan membiarkan anak-anakku untuk membawa kendaraan sebelum cukup umur. Apalagi aku paham sekali resikonya.
Sayang anak, begitu kalian para orangtua berkata. Tapi benarkah membiarkan anak di bawah umur membawa kendaaran itu ungkapan rasa sayang? Mohon maaf kalau aku terpaksa harus bilang, itu adalah bukti kalau kalian tidak peduli pada keselamatan anak-anak kalian. Siapa yang bertanggung jawab bila terjadi kecelakaan?
“Ah, cuma di jalan komplek,” tak jarang alasan ini pun sering aku dengar. Pak, Bu, maaf ya. Mau di komplek atau di jalan raya itu semua sama saja. Kalau sudah terjadi kecelakaan ya tetap celaka. Mereka belum paham rambu-rambu. Mereka belum punya rasa tanggung jawab. Mana mereka peduli terhadap pengguna jalan lainnya. Di komplek itu tetap ada penghuni.
Dear parents, tolonglah mengerti kalau ini bukan hal yang sepele. Silakan brosing sendiri dan lihat berapa banyak angka kecelakaan akibat anak-anak di bawah umur mengemudikan kendaaraan bermotor. Siapa yang salah? Sudah tentu kalian, para orangtua yang membiarkan anak-anaknya berkendara. Tentu saja kalian yang justru dengan bangganya berkata, “Anak saya badannya besar. Masa SD sudah bisa bawa motor.”
Dear parent, cobalah untuk merenungkannya. Dengarkan hati nurani kalian, apakah memang pantas membiarkan anak-anak berkendara? Apakah benar itu karena kalian sayang atau karena kalian malas untuk melarang?
Menutup tulisan curhatan ini, aku teringat satu kisah lagi.
“Daway!” terdengar teriakan dari depan rumahku. Daway ini adalah anak ART dan supi di rumah. Saat ini ia tengah duduk di kelas 6 SD. Setahu aku ia sedang keluar rumah untuk les. Aku pun membuka pintu untuk memberitahu temannya itu. Tapi aku cuma bisa bengong melihat anak SD yang berteriak itu sedang mengemudikan motor seorang diri.
8 Comments
Add Yours →Ya Allah…ikut sedih mbak… Anggota keluarganya banyak yg jadi korban tabrak motor. Saya juga ketar ketir di jalan. Dulu waktu boleh bawa motor, udah sering jatuh. Sekarang cuma dibonceng ajah sering gemeteran takut keserempet kendaraan lain. Harus benar2 ekstra deh di jalan itu
Saya juga suka gemes sama orangtua yang biarin anaknya mengendarai motor padahal belum cukup umur. Kalau memang sayang sama anak, justru harusnya mengarahkan anaknya ke hal yang benar, bukan malah menjerumuskan. *sigh*
Saya juga tidak mengizinkan anak saya untuk belajar motor kalo usianya belum cukup, takutnya kalo dah bisa jadi bawa motor kemana-mana, kadang anak usia remaja kan susah dilarang.
Itu kejadian di kota ya?
Yg banyak angkot, banyak ojek, mayoritas orang berada lah buat ongkos aktivitas.
Kalau di kampung saya, cianjur selatan anak2 “harus” bisa bawa motor karena kebutuhan. Jarak kemana2 susah dan jauh. Tidak ada angkot, ada mobil elf itu di waktu siang aja cuma lewat beberapa kali. Kalau tidak ya jalan kaki… Makanya motor banyak jadi pilihan karena kebutuhan. Termasuk oleh anak.sekolah. Ya Dari pada tidak sekolah. Mana keburu jalan kaki ke sekolah dengan jarak kendaraan aja setengah jam lebih ke kota kecamatan dengan jalan yang jelek dan sebagian hutan.
Mungkin hanya hati2 dan doa aja bekal mereka.
HIks, saya termasuk ortu yang melarang anak untuk mengendarai motor sendiri, tetep harus didampingi kl emang mau pake. Dan Gemes kalo nemu di jalan ada anak2 di bawah umur ugal2an, rasanya pengen datengin ortunya.
Kadang ortu ngelarang mba…, Anak gak diajarin naik motor..
Eh tapi malah bisa sendiri..katanya diajarin teman2..kadang bawa motor gak izin ortu..
Kalo kejadian..kadang suka kasihan sama orang tua nya..
Turut berduka mbak Dian. Oh ya waktu itu mau nanggepin yg di Fb blm sempet, sorry…
Iya, mengapa ada ortu yg seperti itu ya. Trus masyarakat pun kini udah memaklumi gtu kalau ada anak kecil naik motor.
Kejadian anak musisi yg blm punya SIM tapi bawa mobil dan akhirnya nabrak sampai bunuh org itu jg gk dijadikan bahan pelajaran 🙁
Lagi2 yg punya uang yg bebas melenggang.
Mungkin para ortu itu baru sadar saat anak2nya dipanggil Tuhan 🙁
[…] Baca juga: Tidak Seharusnya Cinta Itu Buta […]