Sarapan dengan Semangkuk Soto Triwindu yang Legenda

Bismillahirohmanirohim,

“Di Solo sarapan apa”, kalimat itulah yang aku ketikan di layar telepon pintarku usai shalat subuh. Sebenarnya mata ini masih ingin terlelap, badan ini pun masih meminta untuk direbahkan manja di atas kasur yang empuk di kamar hotel, tapi aku tahu, waktu yang tak banyak kumiliki di kota Solo ini harus aku manfaatkan sebaik-baiknya.

Ada beberapa pilihan tempat makan yang ditampilkan oleh Mbah Google. Sekali lagi aku harus memanfaatkan waktu yang ada, tempat sarapan kami harus serarah dari hotel tempat menginap dengan tujuan kami menuju Karanganyar. Aku menengok pada kekasih yang berada di sebelahku. Sepertinya dia juga tengah khusyuk dengan telepon pintarnya, “Lagi apa, Yang?” tanyaku. “Lagi cari pom bensin yang searah jalan.” Ah, rupanya kami sama, hanya beda yang dicari. Akhirnya kami pun berdiskusi mencari tempat sarapan dan pom bensin serta rute kami hari ini.

Mampir di Solo awal Februari 2017 memang hanya sebentar. Tak sampai 12 jam aku dan Mas Met berada di kota yang sebenarnya sudah lama ingin kujejaki berdua dengan Mas Met. Terakhir kali aku ke Solo tahun 2012 bersama mama dan adikku dalam rangkaian Batik Trip meninggalkan kepingan puzzle rasa belum puas. Karenanya aku bersuaha banget harus bisa memuaskan diri meski hanya makan malam dan sarapan.

Baca juga: Kencan Malam Minggu di Wedangan Pendopo, Surakarta

Akhirnya Soto Triwindu aku pilih sebagai tempat sarapan kami. Kenapa? Bukan karena lokasinya saja yang tak jauh dari penginapan kami, tapi aku punya agenda terselubung. Agar bisa mengintip Pasar Triwindu yang cantik meski sesaat.

Setelah kembali packing dan check out, mobil putih kami pun meluncur menuju jalan Gatot Subroto dengan bantuan Google Map. Beberapa kali kami sempat berputar salah arah mengelilingi Pura Mangkunegaran yang memang seharusnya tak jauh dari keberadaan Pasar Triwindu. Setelah beberapa putaran, akhirnya aku bisa melihat Pasar Triwindu, dengan mata berbinar bahagia, aku pun memerintahkan pria kesayangan aku itu untuk segera memarkirkan si putih di seberang Pasar Triwndu.

Bertanya sebentar pada Pak Tukang Parkir, kami pun diberi petunjuk jalan menuju Soto Triwindu. Masuk jalan kecil di sebelah Pasar Triwindu, ikuti jalan sampai mentok, terus ke kiri, terus nanti ke kanan ya, begitu titahnya.

Di sebuah gang yang tidak begitu lebar hanya bisa dilalui motor, aku bisa melihat plang Soto Triwindu yang berlatar kuning dengan tulisan hijau di atas sebuah bangunan rumah bercat putih. Spanduk berwarna kuning dengan foto seorang wanita bernama Hj. Yososumarto seolah menyambut kedatangan kami ketika memasuki bagian dalam warung Soto Triwindu ini. Sejak 1939, begitu tulisan yang tertera di dalam spanduk tersebut.

Nama Soto Triwindu dikenal karena area tempat berjualannya yang berada tak jauh dari Pasar Triwindu. Lokasinya yang sekarang di jalan Teuku Umar 43, Keprabon, ini adalah lokasi yang baru setelah Pasar Triwindu di revitalisasi. Konon, dulu untuk menemukan warung soto ini kita harus menyusuri gang sempit diantara kios-kios di Pasar Triwindu. Tak jarang harus melewati jalan setapak yang becek di kala musim hujan. Kalau begitu aku harus berterima kasih pada pemerintah yang sudah merevitalisasi dan menggusur Soto Triwindu ke lokasi yang saat ini, karena rasanya aku masih mudah menemukannya.

Susana di dalam Soto Triwindu pagi itu sudah cukup ramai. Aku menikmati sekali bagaimana penataan warung soto ini yang begitu sederhana tapi tetap menarik. Deretan meja-meja berjejer teratur mungkin pemandangan yang biasa di tempat makan, tapi yang menarik adalah adanya lemari makanan yang berisi lauk pelengkap soto seperti perkedel, tahu goreng, tempe goreng, dan sebagainya, berada di tengah-tengah meja. Tak lupa di atasnya terdapat kaleng kerupuk serta perlengkapan makan lainnya.

Setelah kami memilih tempat duduk, tak lama kami pun disapa untuk ditanya berapa mangkuk soto yang akan kami pesan, serta minuman apa yang hendak kami pesan. Setelah menyampaikan pesanan kami, aku pun menghampiri seorang ibu-ibu di salah satu pojokan warung untuk memesan lauk tambahan kami. Cukup banyak pilihan lauk yang bisa kita pilih di tempat ini seperti usus, paru goreng, babat, limpa, dan lain sebagainya. Aku sendiri lupa apa yang aku pilih untuk aku dan Mas Met hari itu. Aku sempat mencoba untuk bertegur sapa dengan sang ibu sambil memotong pesanan kami ke dalam irisan kecil-kecil, sayangnya kemampuan bahasa Jawaku yang luar biasa tidak bisa terpaksa menjadi penghalang untuk bisa menikmati obrolan ringan kami.

Semangkuk soto daging berkuah bening hangat tiba di meja kami. Dengan lahap tanpa ragu kami pun mulai menghabiskannya. Porsi sarapan yang cukup berat menurut aku, karena akhirnya kami sukses melewatkan makan siang hari itu karena masih merasa kenyang. Soal rasa, aku tak perlu ragu untuk bilang luar biasa nikmat. Dari sisi harga aku lupa berapa harga sarapan kami saat itu, tapi bila tak salah, aku sempat mengirimkan foto dan pesan singkat ke mamaku dengan tulisan “Sarapan murah dan mantap pagi ini di Solo.”

Sebelum mengucapkan selamat tinggal pada kota Solo, aku pun menyempatkan diri untuk berpoto dulu di depan Pasar Triwindu, diantara barang-barang tua yang selalu memanggil aku untuk dibawa pulang.

Kalian sudah pernah menikmati Soto Triwindu? Punya kenangan yang sama? Atau justru punya makanan favorit tersendiri kalau mengunjungi kota Solo? Coba ceritakan ke aku di kolom komentar. Siapa tahu aku bisa ke Solo lagi, dan menikmati kuliner lainnya.

 

 

8 Comments

Add Yours →

Ini soto daging sapi ya, bukan ayam? Udah lama juga berdirinya tahun 1939.
Kapan-kapan mau coba soto di Solo. Desember lalu waktu ke solo cuma sempat nyicipin timlo sastro, gudeg nini thowong dan selat solo mbak Lies. Kuliner solo memang enak-enak.

Hiks hiks aku belum pernah ke Solo. Noted deh kalau ke sana main ke Pasar Triwindu dan makan soto Triwindu TFS 😀

udah niat sih mbak main ke pasar Triwindu bulan Juli lalu, sayang nggak sempat..
catat ah soto Triwindu, kami sarapannya ke Soto Gading

Leave a Reply