tidur di luar

Cerita di Terminal

Bismillahirohmanirohim,

Langit gelap. Sudah beberapa jam dari matahari tenggelam menuju sisi bumi yang lain. Tapi aku tak merasa takut. Meski gelap. Meski sunyi. Aku justru merasa tentram. Nyaman. Bahagia. Ditemani bintang-bintang yang bertebaran di langit.

Sungguh pemandangan yang menarik hati. Membuat aku reflek menarik garis bibirku membentuk kurva. Sebuah senyuman. Aku merasa damai. Rasa dingin yang semula menusuk hingga ke tulang kini terlupakan. Semua seolah menjadi tidak lagi penting. Atau aku sudah mati rasa?

Perlahan rasa kantuk semakin menguasai. Aku mulai tidak sanggup membuka mata. Mataku mulai terpejam. Damai. Selamat malam dunia.

***

“Teh, tulisan tema TIDUR DI LUAR kapan diposting?” pertanyaan dari teman-teman Enchanting Ladies membuyarkan lamunanku tentang damainya berada di area terbuka dataran tinggi, menghitung bintang.

Mukaku bersemu merah. Aku malu. Kali ini aku telat menyetor tulisan untuk Enchanting Ladies, yang seharusnya sudah terpublished pada Kamis dua minggu lalu. Maaf.

Desember ini aku terlalu larut asik bermain. Bermalas-malasan dalam bekerja. Menjadikan laptop yang rusak sebagai alasan, hingga akhirnya hutang kerjaan menumpuk tepat di minggu terakhir sebelum pergantian tahun.

Setiap kalimat TIDUR DI LUAR seperti yang diusulkan oleh Zahrah selalu membuat aku terbayang pada arti yang sesungguhnya. Tidur di alam terbuka, bermandikan cahaya bintang. Tapi aku tak punya cerita seperti itu. Bahkan seumur hidupku tidur di dalam tenda baru satu kali aku rasakan. Itu pun aku benar-benar hanya meringkuk di dalam tenda, karena diluar hujan terus membasahi bumi.

Pengertian TIDUR DI LUAR memang luas. Bisa saja aku menceritakan soal kebiasaan aku pindah-pindah penginapan saat sedang road trip. Tapi aku merasa kurang sreg dengan cerita itu. Aku ingin mengisahkan tentang TIDUR DI LUAR yang berbeda. Hanya saja sepertinya aku tak punya kisah seperti itu.

Tiba-tiba aku teringat. Aku pernah TIDUR DI LUAR dalam arti sesungguhnya. Maksudku, sudah tentu bukan tidur di pinggir jalan, apalagi di tengah jalan. Tapi tidur di terminal. Mari kukisahkan soal itu.

Tradisi lebaranku semenjak menikah sudah tentu berubah. Aku yang semula hanya berkeliling Jawa Barat di libur lebaran, kini harus berbagi pulang ke Jawa Timur, rumah dimana kedua orangtua Mas Met tinggal. Sampai hari ke dua hari raya, kami masih berada di keluargaku, baru hari ke tiga biasanya kami berangkat ke menuju timur.

Aku lupa tahun berapa peristiwa ini terjadi. Aku salah membeli tiket pesawat. Alih-alih membeli tiket keberangkatan pagi, aku justru membeli tiket malam. Celakanya aku baru sadar kesalahan jam ini satu hari sebelum berangkat. Tepat di saat aku selesai membongkar ranselĀ  pulang dari Bandung, dan bersiap untuk mengisinya kembali untuk keperluan di Bondowoso nanti.

Pesawat yang membawa aku dan Mas Met itu bertolak sekitar menjelang pukul 8 malam menuju Surabaya. Jika tujuan akhirku hanya sampai Surabaya tentu tak menjadi soal. Tapi kenyataannya, kami masih harus menuju lebih ke timur pulau Jawa lagi dengan bus umum.

Aku merasa lega ketika pantatku berhasil duduk manis di sebuah bus arah Probolinggo. Bus yang langsung menuju Bondowoso memang agak jarang, biasanya mau tak mau kami harus menyambung bus.

“Jangan senyum dulu. Kalau cuma sampai Probolinggo bus memang banyak. Nanti ke Bondowosonya enggak tahu deh,” kecam Mas Met. Sepertinya ia masih marah akibat kesalahan aku memilih jadwal penerbangan.

Tak ambil peduli, aku memilih memejamkan mata. Masih 2 jam lebih sampai Probolinggo, mari berpikir nanti saja, ujarku dalam hati.

Jam menunjukkan waktu menjelang jam 1 dini hari ketika bus yang kami tumpangi memasuki Terminal Banyuangga. Suasana terminal tampak lenggang, pemandangan yang jauh berbeda dari biasanya ketika aku datang siang hari. Diam-diam aku memperhatikan Mas Met. Dari raut wajahnya aku tahu dia tidak senang melihat pemandangan ini.

“Kamu tunggu sini dulu, aku mau cari info,” perintahnya.

Aku pun menurut. Duduk di salah satu bangku di dalam terminal, sambil menjaga dua ransel bawaan kami. Tidak berapa lama, Mas Met datang kembali sambil mengatakan jadwal bus Bondowoso baru akan ada pukul 3 pagi. Itu pun kalau kalau ada, katanya.

Aku paham maksudnya. Jadwal bus di Indonesia masih berantakan. Aku teringat di terminal yang sama beberapa tahun sebelumnya aku pernah menyaksikan dua turis asing yang marah-marah karena tidak bisa mendapatkan kepastian mengenai jadwal bus. Saat itu aku berasumsi mereka hendak ke Bali, tapi ternyata mereka menanti bus yang sama denganku. Mereka ingin ke Kawah Ijen.

Aku menguap. Bus masih lama. Rasa kantukku sudah tak tertahan. Semenjak menikah aku mendapat julukan Putri Tidur. Insomnia yang aku derita mendadak hilang. Aku bisa tidur dimanapun, dan tak bisa lagi menahan kantuk. Aku membiarkan Mas Met mondar-mandir mencari informasi soal bus. Kupeluk erat dua ransel kami dan memejamkan mata. Membiarkan diriku masuk ke alam mimpi.

“Bangun yuk.”

“Eh, sudah hampir jam 3 ya?”

“Sudah mau subuh malah. Enggak ada busnya jam 3. Kita shalat subuh terus cari bus ke Situbondo aja dulu. Biasanya lebih banyak kalau ke Situbondo.”

Benar saja, tak lama kami selesai shalat subuh sebuah bus memasuki terminal dengan tujuan Situbondo. Tak harus diperintah aku pun naik ke bus tersebut, memilih tempat duduk dan melanjutkan tidur. Sayup-sayup aku masih bisa mendengar komentar Mas Met yang meminta gantian tidur, tapi tak aku hiraukan. Pikirku, kalau mau tidur, ya merem aja. Aku tetap memeluk ransel erat, dan aku tahu aku cukup cepat waspada meski sedang tidur.

Terminal Banyuangga saat siang hari

Kalau aku bisa tidur di terminal, gimana degan kalian? Punya pengalaman TIDUR DI LUAR seperti apa? Yuk coba ceritakan. Jangan lupa juga untuk baca kisah-kisah Enchanting Ladies lainnya di sini ya:

Zahrah – Ke kawh Ijen Menginap Dimana

Siti Mudrikah – Pernah Terdampat Saat Mudik?

Pipit – Nyobain Tidur di Bangungan Kosong, Berani?

Rhoshandha – Tidur Di Luar Rumah

assalamu alaikum,

dian ravi

DianRavi

About The Author


dianravi

Dian Safitri, travel and lifestyle blogger muslimah yang berdomisili di Jakarta, Indonesia. Pecinta kopi dan makanan. IVF Surviver.

8 Comments

  1. Uwaaaaaa teeeeh kurang panjang ceritanyaaaaa
    Gam kerosoooo
    Soalnya aku baca di awal2, tulisannya keren banget. Beda. Penggunaan diksinya hokya banget
    Eh tapi… Hmmm kurang panjang teh… Endingnya kurang dikit teh, supaya aku bacanya gak antiklimaks

  2. Iyah nih mbak dian, pemilihan katanya bagus, aku tidur diluar rumah sih pernah mbak, tidur di pondok. Hehehehe, kan luar rumah ?

  3. Hehe.. mantep nih, Teh..
    Aku pernah sih tidur diluar juga, tapi aku rasa cowok mah biasa ya.. Cewek baru beda..hehe
    Kalau di terminal memang suka gitu, jadwalnya nggak teratur, maksudnya belum sesuai gitu. Ditunggu kadang tak kunjung datang, giliran nggak ditunggu, ditinggal..haha #pengalaman šŸ˜€

    Eh, btw, itu nama Teh Siti Mudrikah sepertinya salah, itu Situ šŸ™‚
    Baca punya Zahrah udah, teh Pipit udah, tinggal punya kak Ros ini..he

  4. Eh kalau dipikir2 lagi pengalaman tidur ternggak elitku sebenernya ada, tidur di lapangan siang bolong. Wkakakaka..
    Baru inget sekarang ini pas komen dipostingan teteh.
    Kadang suka heran, kok bisa ya aku dulu tidur siang bolong ditengah lapangan. Nyenyak pula tidurku itu, tapi kalau sekarang. Udah g bisa, enakan dikasur

  5. Aku mah gak papa da tidur diluar juga kalo mau menuju rumah mertua,,ihhihii.. Tp kalo diterminal jujur agak serem,suka bnyak preman gitu. Makanya pas terdampar dterminal,aku bruntung bgt bisa tidur dmesjid, alhmdulillah.

  6. Travel blogger emang harus pernah punya pengalaman tidur di terminal huehehe xD aku juga pernah tuh teh, di daerah stasiun Pasar Senen. Tidurnya ngemper di warung :’)

    Aku kalau pesan tiket pesawat suka parno sendiri, jangan2 mata aku keseleo waktu lihat jadwal. Makanya kalo lagi pesen kudu ada teman biar bisa bener2 yakinin jadwalnya bener xD

Leave a Comment